Rabu, 12 Juni 2013

Mengharap Problema Subsidi BBM Segera Berakhir

Jakarta - Lama tak terdengar kabarnya, ternyata jelang pertengahan tahun 2013 persoalan bahan bakar minyak (BBM) kembali hangat dan menjadi bahan pembicaraan di dalam negeri.

Bagaimana tidak, masalah keterbatasan pasokan berikut tekanan defisit Indonesia ditengarai memaksa pemerintah untuk mengambil langkah pengamanan terkait bahan bakar premium dan solar.

Parahnya, kemelut BBM ini dituding sebagai biang keladi dan ancaman bagi stabilitas peringkat Indonesia di mata investor. Terutama bila dikaitkan dengan penurunan peringkat negara RI oleh S&P baru-baru ini maupun peluang perubahan peringkat dari lembaga pemeringkat lainnya.

Salah satu solusi yang ramai diperbincangkan adalah rencana pemberlakuan dua harga atas harga bahan bakar idola masyarakat Indonesia itu oleh pemerintah. Beragam alternatif peluang harga baru pun marak mewarnai media. Mulai dari nominal kenaikan senilai Rp 1. 000 hingga Rp 2.000.

Walaupun, kapan implementasi pemberlakuan dua harga itu akan benar-benar dilaksanakan belum dapat dipastikan secara jelas.

Otomatis sinyal peningkatan harga barang-barang kebutuhan sehari-hari menunjukkan kesiapan untuk berubah, termasuk transportasi. Meski, rencana perubahan harga BBM itu tidak akan mengganggu gugat keberadaan kendaraan roda dua dan angkutan umum. Kedua jenis fasilitas itu menyangkut rakyat kecil sehingga dipastikan harganya masih akan tetap sama. Mengingat pemerintah masih sangat concern terhadap beban dan tekanan hidup masyarakat yang kebanyakan merupakan kalangan bawah itu.

Dilema subsidi BBM

Memang tak dapat dimungkiri bahwa permasalahan seputar BBM bakal terus menghantui Indonesia ditengah perbedaan kepentingan antara beberapa pihak. Di satu sisi, masih banyak warga yang hidup di bawah garis kemiskinan. Imbas kenaikan harga pun sudah pasti akan semakin memperburuk kualitas kehidupan mereka.

Sedangkan di sisi lain, tekanan problema melebarnya defisit negara RI pun tak kalah mencemaskan. Apalagi berpeluang memberikan dampak negatif yang lebih luas pada perekonomian dalam negeri.
Berbagai cara pun telah dilakukan pemerintah Indonesia demi tuntaskan persoalan itu. Walaupun dalam implementasinya terindikasi terhadang banyak hal. Sebut saja luasnya cakupan wilayah negara RI yang berbentuk kepulauan berikut panjangnya hieraki pada internal pemerintahan Indonesia yang ditengarai menjadi salah satu penyebab ‘seretnya’ pencarian solusi terbaik atas persoalan BBM di dalam negeri.

Menelusuri problema BBM, ada baiknya memahami benar mengenai faktor demand and supply kebutuhan bahan bakar minyak domestik. Karena sesungguhnya, apabila ditinjau dari segi kepemilikan sumber BBM, Indonesia sebenarnya mempunyai area sumber yang memadai.

Bahkan diperkirakan tersebar di berbagai pelosok Nusantara. Belum lagi dengan kekayaan sumber-sumber mineral lainnya, yang tidak hanya berupa minyak dan gas alam di tengah kecemasan bahwa energi tidak terbarukan itu akan terus berkurang jumlahnya dari waktu ke waktu.

Namun demikian, kurang maksimalnya penggunaan sumber-sumber tersebut serta lemahnya dukungan fasilitas infrastruktur berpotensi menghalanginya. Terlebih persepsi lebih gampang dan mudah jika langsung membeli dari pihak luar dibandingkan dengan memprosesnya sendiri menjadi ‘penggoda’ utama para pelaku usaha bidang pertambangan Nusantara.

Padahal, biayanya akan sangat jauh lebih mahal apabila pemenuhan kebutuhan sumber-sumber energi kita, terutama yang berasal dari sektor migas diperoleh dari luar negeri. Mengingat aktivitas transaksi tersebut berkenaan dengan kurs mata uang asing, dalam hal ini US Dollar. Kurs dollar/rupiah akhir-akhir ini memperlihatkan masih lebih kokohnya mata uang Amerika itu di hadapan sebagian mata uang asing lainnya.

Posisi safe-haven dollar AS pun menambah kuatnya dominasi the greenback dibandingkan rupiah di tengah ketidakpastian kondisi ekonomi global yang membayangi. Hingga, peluang kian melebarnya defisit neraca pembayaran turut menjadi ancaman tambahan buat perekonomian domestik.

Dampak persoalan BBM

Berlanjutnya persoalan bahan bakar minyak bersubsidi di Indonesia disinyalir tidak hanya memberikan dampak bagi rakyat kecil. Kendati kalangan bawah itu dianggap paling banyak terkena imbas negatifnya. Terutama disebabkan masih rendahnya pos pemasukan atau pendapatan warga negara Indonesia, yang jumlahnya paling besar.

Dengan tambahan problem ekonomi pasar global, bisa dibayangkan betapa rumitnya permasalahan yang kian membebani pemerintah RI. Apalagi bila meninjau juga sisi sektor perdagangan internasional, kemelut krisis utang negara-negara besar dunia berikut belenggu perlambatan laju pemulihan ekonomi global turut mempengaruhi salah satu sektor penting negeri tercinta, yakni ekspor dan impor. Belum lagi ancaman pelemahan rupiah yang dikhawatirkan imbas buruknya, khususnya bagi para importir.

Sementara itu, banyak pihak mulai menyadari betapa besarnya pengaruh semua persoalan itu terhadap aktivitas perekonomian dalam negeri. Oleh karena itu, sudah sewajarnya apabila pemerintah berikut warga negara RI mulai berbenah diri mengupayakan jalan keluar terbaik bagi penyelesaian masalah BBM.

Alternatifnya cukup banyak, di antaranya penghematan penggunaan bahan bakar minyak, pemanfaatan sumber-sumber energi lainnya yang lebih ramah lingkungan, hingga peralihan ke sumber energi lainnya yang lebih efisien.

Merespon rencana pemerintah terkait perubahan kebijakan mengenai subsidi BBM, hendaknya semua pihak berpikiran positif dan tidak serta-merta langsung memberikan penilaian negatif. Karena tujuan mulia dari semua kebijakan itu adalah demi kesejahteraan segenap warga negara Indonesia.

Meski mungkin pada awalnya dibutuhkan penyesuaian atas segala sesuatu yang berkaitan dengan perubahan itu. Maka dari itu, mari bersama-sama mendukung pelaksanaannya sehingga apa yang menjadi sasaran dapat terwujud. Dan masalah krisis BBM dapat segera tuntas dengan akhir yang indah bagi semua pihak. Semoga… (Apressyanti Senthaury/Pegawai Bank BUMN)

*Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar