Jakarta - Lama tak terdengar kabarnya, ternyata  jelang pertengahan tahun 2013 persoalan bahan bakar minyak (BBM)   kembali hangat dan menjadi bahan pembicaraan di dalam negeri.
Bagaimana  tidak, masalah keterbatasan pasokan berikut tekanan defisit Indonesia  ditengarai memaksa pemerintah untuk mengambil langkah pengamanan terkait  bahan bakar premium dan solar.
Parahnya, kemelut BBM ini dituding  sebagai biang keladi dan ancaman bagi stabilitas peringkat Indonesia di  mata investor. Terutama bila dikaitkan dengan penurunan  peringkat  negara RI oleh S&P baru-baru ini maupun peluang perubahan peringkat  dari lembaga pemeringkat lainnya.
Salah satu solusi yang ramai  diperbincangkan adalah rencana pemberlakuan dua harga atas harga bahan  bakar idola masyarakat Indonesia itu oleh pemerintah. Beragam alternatif  peluang harga baru pun marak mewarnai media. Mulai dari nominal  kenaikan senilai Rp 1. 000 hingga Rp 2.000.
Walaupun, kapan  implementasi pemberlakuan dua harga itu akan benar-benar dilaksanakan  belum dapat dipastikan secara jelas.
Otomatis sinyal peningkatan  harga barang-barang kebutuhan sehari-hari menunjukkan kesiapan untuk  berubah, termasuk transportasi. Meski, rencana perubahan harga BBM itu  tidak akan mengganggu gugat keberadaan kendaraan roda dua dan angkutan  umum. Kedua jenis fasilitas itu menyangkut rakyat kecil sehingga  dipastikan harganya masih akan tetap sama. Mengingat pemerintah masih  sangat concern terhadap beban dan tekanan hidup masyarakat yang  kebanyakan merupakan kalangan bawah itu.
Dilema subsidi BBM
 Memang tak dapat dimungkiri bahwa permasalahan seputar BBM bakal terus  menghantui Indonesia ditengah perbedaan kepentingan antara beberapa  pihak. Di satu sisi, masih banyak warga yang hidup di bawah garis  kemiskinan. Imbas kenaikan harga pun sudah pasti akan semakin  memperburuk kualitas kehidupan mereka.
Sedangkan di sisi lain,  tekanan problema melebarnya defisit negara RI pun tak kalah mencemaskan.  Apalagi berpeluang memberikan dampak negatif yang lebih luas pada  perekonomian dalam negeri.
Berbagai cara pun telah dilakukan  pemerintah Indonesia demi tuntaskan persoalan itu. Walaupun dalam  implementasinya terindikasi terhadang banyak hal. Sebut saja luasnya  cakupan wilayah negara RI yang berbentuk kepulauan berikut panjangnya  hieraki pada internal pemerintahan Indonesia yang ditengarai menjadi  salah satu penyebab ‘seretnya’ pencarian solusi terbaik atas persoalan  BBM di dalam negeri.
Menelusuri problema BBM, ada baiknya memahami  benar mengenai faktor demand and supply kebutuhan bahan bakar minyak  domestik. Karena sesungguhnya, apabila ditinjau dari segi kepemilikan  sumber BBM, Indonesia sebenarnya mempunyai area sumber yang memadai.
Bahkan  diperkirakan tersebar di berbagai pelosok Nusantara. Belum lagi dengan  kekayaan sumber-sumber mineral lainnya, yang tidak hanya berupa minyak  dan gas alam di tengah kecemasan bahwa energi tidak terbarukan itu akan  terus berkurang jumlahnya dari waktu ke waktu. 
 
 Namun demikian,  kurang maksimalnya penggunaan sumber-sumber tersebut serta lemahnya  dukungan fasilitas infrastruktur berpotensi menghalanginya. Terlebih  persepsi lebih gampang dan mudah jika langsung membeli dari pihak luar  dibandingkan dengan memprosesnya sendiri menjadi ‘penggoda’ utama para  pelaku usaha bidang pertambangan Nusantara.
Padahal, biayanya akan  sangat jauh lebih mahal apabila pemenuhan kebutuhan sumber-sumber  energi kita, terutama yang berasal dari sektor migas diperoleh dari luar  negeri. Mengingat aktivitas transaksi tersebut berkenaan dengan kurs  mata uang asing, dalam hal ini US Dollar. Kurs dollar/rupiah   akhir-akhir ini memperlihatkan masih lebih kokohnya mata uang Amerika  itu di hadapan sebagian mata uang asing lainnya.
Posisi safe-haven dollar AS  pun menambah kuatnya dominasi the greenback dibandingkan  rupiah di tengah ketidakpastian kondisi ekonomi global yang membayangi.  Hingga, peluang kian melebarnya defisit neraca pembayaran turut menjadi  ancaman tambahan buat perekonomian domestik.
 
 Dampak persoalan BBM
 Berlanjutnya  persoalan bahan bakar minyak bersubsidi di Indonesia disinyalir tidak  hanya memberikan dampak bagi rakyat kecil. Kendati kalangan bawah itu  dianggap paling banyak terkena imbas negatifnya. Terutama disebabkan  masih rendahnya pos pemasukan atau pendapatan warga negara Indonesia,  yang jumlahnya paling besar.
Dengan tambahan problem ekonomi pasar  global, bisa dibayangkan betapa rumitnya permasalahan yang kian  membebani pemerintah RI. Apalagi bila meninjau juga sisi sektor  perdagangan internasional, kemelut krisis utang negara-negara besar  dunia berikut belenggu perlambatan laju pemulihan ekonomi global turut  mempengaruhi salah satu sektor penting negeri tercinta, yakni ekspor dan  impor. Belum lagi ancaman pelemahan rupiah yang dikhawatirkan imbas  buruknya, khususnya bagi para importir.
Sementara itu, banyak  pihak mulai menyadari betapa besarnya pengaruh semua persoalan itu  terhadap aktivitas perekonomian dalam negeri. Oleh karena itu, sudah  sewajarnya apabila pemerintah berikut warga negara RI mulai berbenah  diri mengupayakan jalan keluar terbaik bagi penyelesaian masalah BBM. 
 
 Alternatifnya cukup banyak, di antaranya penghematan penggunaan bahan  bakar minyak, pemanfaatan sumber-sumber energi lainnya yang lebih ramah  lingkungan, hingga peralihan ke sumber energi lainnya yang lebih  efisien.
Merespon rencana pemerintah terkait perubahan kebijakan  mengenai subsidi BBM, hendaknya semua pihak berpikiran positif dan tidak  serta-merta langsung memberikan penilaian negatif. Karena tujuan mulia  dari semua kebijakan itu adalah demi kesejahteraan segenap warga negara  Indonesia.
Meski mungkin pada awalnya dibutuhkan penyesuaian atas  segala sesuatu yang berkaitan dengan perubahan itu. Maka dari itu, mari  bersama-sama mendukung pelaksanaannya sehingga apa yang menjadi sasaran  dapat terwujud. Dan masalah krisis BBM dapat segera tuntas dengan akhir  yang indah bagi semua pihak. Semoga… (Apressyanti Senthaury/Pegawai Bank BUMN)
*Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis
  


Tidak ada komentar:
Posting Komentar