Jumat, 28 Desember 2012

Office Boy jadi Vice Presiden..? Simak perjalanan Houtman Zainal Arifin


 Pengalaman hidupnya yang amat inspiratif patut untuk disimak, yang awalnya ia hanya seorang office boy hingga bisa menduduki jabatan nomor satu sebagai seorang Vice President Citibank. Sekarang beliau berkerja sebagai direksi di perusahaan swasta, pengawas keuangan di beberapa perusahaan swasta, komite audit BUMN, konsultan, penulis serta dosen pasca sarjana di sebuah Universitas. 

Houtman Zainal Arifin dilahirkan pada tanggal 27 Juli 1950 di Kota Kediri Jawa Timur. Beliau dilahirkan dari keluarga pas-pasan. Kisah hidup beliau dimulai ketika lulus dari SMA, Hotman merantau ke Jakarta dan tinggal di daerah Kampung Bali dari tahun 1951-1974, Houtman membawa mimpi di Jakarta untuk hidup berkecukupan dan menjadi orang sukses di Ibukota, namun apa daya Di Jakarta ternyata Houtman harus menerima kenyataan bahwa kehidupan ibukota ternyata sangat keras dan tidak mudah. Tidak ada pilihan bagi seorang lulusan SMA di Jakarta, pekerjaan tidak mudah diperoleh.


Sewaktu tinggal di tanah abang, ayah beliau sakit keras. Orang tuanya ingin berobat, tetapi tidak mempunyai biaya yang cukup. Melihat keadaan seperti itu, beliau tidak mau menyerah. Dengan bermodal hanya Rp 2.000,- hasil pinjaman dari temannya, beliau menjadi pedagang asongan menjajakan perhiasan imitasi dari jalan raya hingga ke kolong jembatan mengarungi kerasnya kehidupan ibukota. Usaha dagangannya kemudian laku keras, namun ketika ia sudah menuai hasil dari usahanya, ternyata Tuhan memberinya cobaan, ketika petugas penertiban datang, dagangannya di injak hingga jatuh ke lumpur. Ketika semua dagangan beliau sudah rusak bercampur lumpur, ternyata teman-temannya yang dari kawula rendah seperti tukang sepatu, tukang sayur, dan lain-lain, beramai-ramai membersihkan dagangan beliau. Disini beliau mulai mendapatkan pengalaman berharga tentang kerasnya kehidupan Ibukota.

Tetapi kondisi seperti ini tidak membuat Houtman kehilangan cita-cita dan impian. Suatu ketika Houtman beristirahat di sebuah kolong jembatan, dia memperhatikan kendaran-kendaraan mewah yang berseliweran di jalan Jakarta. Para penumpang mobil tersebut berpakaian rapih, keren dan berdasi. Houtman remaja pun ingin seperti mereka, mengendarai kendaraan berpendingin, berpakaian necis dan tentu saja memiliki uang yang banyak. Saat itu juga Houtman menggantungkan cita-citanya setinggi langit, sebuah cita-cita dan tekad diazamkan dalam hatinya. Azam atau tekad yang kuat dari Houtman telah membuatnya ingin segera merubah nasib. Tanpa menunggu waktu lama Houtman segera memulai mengirimkan lamaran kerja ke setiap gedung bertingkat yang dia ketahui. Bila ada gedung yang menurutnya bagus maka pasti dengan segera dikirimkannya sebuah lamaran kerja. Houtman menyisihkan setiap keuntungan yang diperolehnya dari berdagang asongan digunakan untuk membiayai lamaran kerja. 

Sampai di rumah, beliau melihat ada orang gila wara-wiri di sekitar rumah beliau. Orang gila itu hampir nggak pake baju. Beliau pada saat itu cuma punya baju 3 pasang. Hebatnya, beliau ikhlas memberi ke orang gila itu sepasang baju plus sabun plus sisir. Tuhan memang Maha Adil, Pada hari ketiga setelah kejadian tersebut, Tiba-tiba datang surat yang menyatakan bila beliau diterima menjadi OB disebuah perusahaan yang sangat terkenal dan terkemuka di Dunia, The First National City Bank (citibank), sebuah bank bonafid dari USA. Houtman pun diterima bekerja sebagai seorang Office Boy. Sebuah jabatan paling dasar, paling bawah dalam sebuah hierarki organisasi dengan tugas utama membersihkan ruangan kantor, wc, ruang kerja dan ruangan lainnya.




Waktu jadi OB, beliau melihat training. Karena jabatan beliau hanya OB, beliau tentu tidak dianggap. Bahasa Inggris beliau pun cuma sekedar yes-no. Tapi beliau berprinsip, “Saya harus berbuat. Saya harus pintar.” Setiap hari selama training itu, beliau ada di depan pintu dan mencatat semuanya. Training officer-nya lama-lama jadi menyuruh beliau masuk (tapi secara kasar). Si training officer mengumumkan pada para trainer, “Pengumuman, dia tidak terdaftar dan dia tidak akan diuji,” kata training officer. Mendengarnya, Houtman tidak terima. Dia sudah berada di ruangan yang sama berarti dia sudah menjadi salah satu trainer juga dan juga harus diuji.

Pak Houtman lalu menantang diri beliau sendiri, “Saya harus lulus!” batin beliau. Padahal saingan beliau adalah lulusan UI, Michigan, Ohio, ITB dan banyak universitas TOP lainnya. Sementara beliau, SMA bisa lulus aja udah untung. “Pokoknya harus lulus dan gak boleh jadi yang terakir,” tekad beliau. Tuhan memang Maha Besar, dari 34 orang beliau termasuk 4 besar dan beliau pada tahun 1978 dikirim ke Eropa.

Sebagai Office Boy Houtman selalu mengerjakan tugas dan pekerjaannya dengan baik. Terkadang dia rela membantu para staf dengan sukarela. Selepas sore saat seluruh pekerjaan telah usai Houtman berusaha menambah pengetahuan dengan bertanya tanya kepada para pegawai. Dia bertanya mengenai istilah istilah bank yang rumit, walaupun terkadang saat bertanya dia menjadi bahan tertawaan atau sang staf mengernyitkan dahinya. Mungkin dalam benak pegawai ”ngapain nih OB nanya-nanya istilah bank segala, kayak ngerti aja”. Sampai akhirnya Houtman sedikit demi sedikit familiar dengan dengan istilah bank seperti Letter of Credit, Bank Garansi, Transfer, Kliring, dll.

Suatu saat Houtman tertegun dengan sebuah mesin yang dapat menduplikasi dokumen (saat ini dikenal dengan mesin photo copy). Ketika itu mesin foto kopi sangatlah langka, hanya perusahaan perusahaan tertentu lah yang memiliki mesin tersebut dan diperlukan seorang petugas khusus untuk mengoperasikannya. Setiap selesai pekerjaan setelah jam 4 sore Houtman sering mengunjungi mesin tersebut dan minta kepada petugas foto kopi untuk mengajarinya. Houtman pun akhirnya mahir mengoperasikan mesin foto kopi, dan tanpa di sadarinya pintu pertama masa depan terbuka. Pada suatu hari petugas mesin foto kopi itu berhalangan dan praktis hanya Houtman yang bisa menggantikannya, sejak itu pula Houtman resmi naik jabatan dari OB sebagai Tukang Foto Kopi

Menjadi tukang foto kopi merupakan sebuah prestasi bagi Houtman, tetapi Houtman tidak cepat berpuas diri. Disela-sela kesibukannya Houtman terus menambah pengetahuan dan minat akan bidang lain. Houtman tertegun melihat salah seorang staf memiliki setumpuk pekerjaan di mejanya. Houtman pun menawarkan bantuan kepada staf tersebut hingga membuat sang staf tertegun. “bener nih lo mo mau bantuin gua” begitu Houtman mengenang ucapan sang staff dulu. “iya bener saya mau bantu, sekalian nambah ilmu” begitu Houtman menjawab. “Tapi hati-hati ya ngga boleh salah, kalau salah tanggung jawab lo, bisa dipecat lo”, sang staff mewanti-wanti dengan keras. 

Akhirnya Houtman diberi setumpuk dokumen, tugas dia adalah membubuhkan stempel pada Cek, Bilyet Giro dan dokumen lainnya pada kolom tertentu. Stempel tersebut harus berada di dalam kolom tidak boleh menyimpang atau keluar kolom. Alhasil Houtman membutuhkan waktu berjam-jam untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut karena dia sangat berhati-hati sekali. Selama mengerjakan tugas tersebut Houtman tidak sekedar mencap, tapi dia membaca dan mempelajari dokumen yang ada. Akibatnya Houtman sedikit demi sedikit memahami berbagai istilah dan teknis perbankan. Kelak pengetahuannya ini membawa Houtman kepada jabatan yang tidak pernah diduganya.

Houtman cepat menguasai berbagai pekerjaan yang diberikan dan selalu mengerjakan seluruh tugasnya dengan baik. Dia pun ringan tangan untuk membantu orang lain, para staff dan atasannya. Sehingga para staff pun tidak segan untuk membagi ilmu kepadanya. Sampai suatu saat pejabat di Citibank mengangkatnya menjadi pegawai bank karena prestasi dan kompetensi yang dimilikinya, padahal Houtman hanyalah lulusan SMA. Kemudian ia pun di angkat menjadi pegawai di bank Citibank tersebut, Peristiwa pengangkatan Houtman menjadi pegawai Bank menjadi berita luar biasa heboh dan kontroversial. Bagaimana bisa seorang OB menjadi staff, bahkan rekan sesama OB mencibir Houtman sebagai orang yang tidak konsisten. Houtman dianggap tidak konsisten dengan tugasnya, “jika masuk OB, ya pensiun harus OB juga” begitu rekan sesama OB menggugat.

Houtman tidak patah semangat, dicibir teman-teman bahkan rekan sesama staf pun tidak membuat goyah. Houtman terus mengasah keterampilan dan berbagi membantu rekan kerjanya yang lain. Hanya membantulah yang bisa diberikan oleh Houtman, karena materi tidak ia miliki. Houtman tidak pernah lama dalam memegang suatu jabatan, sama seperti ketika menjadi OB yang haus akan ilmu baru. Houtman selalu mencoba tantangan dan pekerjaan baru. Sehingga karir Houtman melesat bak panah meninggalkan rekan sesama OB bahkan staff yang mengajarinya tentang istilah bank.





Sekitar 19 tahun kemudian sejak Houtman masuk sebagai Office Boy di The First National City Bank, Houtman kemudian mencapai jabatan tertingginya yaitu Vice President. Sebuah jabatan puncak Citibank di Indonesia. Jabatan tertinggi Citibank sendiri berada di USA yaitu Presiden Director yang tidak mungkin dijabat oleh orang Indonesia. Sampai dengan saat ini belum ada yang mampu memecahkan rekor Houtman masuk sebagai OB pensiun sebagai Vice President, dan hanya berpendidikan SMA. Houtman pun kini pensiun dengan berbagai jabatan pernah diembannya, menjadi staf ahli citibank asia pasifik, menjadi penasehat keuangan salah satu gubernur, menjabat CEO di berbagai perusahaan dan menjadi inspirator bagi banyak orang.

Pelajaran yang dapat dipetik adalah kita tidak akan pernah kekurangan apa bila kita mau saling memberi, jika kita mau bersilaturahmi dan banyak berteman dengan siapa saja kita akan mendapatkan rezeki yang lebih banyak, dan jika kita iklash memberi Allah swt pasti akan memberikan kita sesuatu yang lebih.




Rabu, 24 Oktober 2012

Bermodal kurang dari 10 jt, Kaos Anak LARE LARE SOLO kini Beromset Puluhan Juta Per Bulan

Peluang Usaha Kaos Anak mulai makin banyak diminati, karena makin banyak ibu ibu yang ingin membeli kaos dengan motif unik. hal ini ditangkap oleh Ary dengan mendesain kaos anak Lare-Lare

Saya memulai bisnis ini karena Gendhis tak suka memakai baju-baju anak yang modis. Dia hanya suka pakai kaus dan celana saja,” kata Ary. Gendhis (4,5) adalah putri sulungnya. Ary pun terpikir membuat kaus lucu dan modis. Niat itu makin subur karena saat itu Ary sedang tidak bekerja. Mantan wartawati majalah wanita ini pindah dari Jakarta ke Solo mengikuti suaminya yang pindah kerja. “Saya kebagian mencari ide kreatif, suami yang menerjemahkan ke desain karena dia bisa menggambar dan menyablon,” kata Ary.

Nama larelare dipilih, karena lare (Jawa) artinya anak-anak. Setelah memiliki berbagai desain, barulah Ary mulai menyablon, yang dikerjakan oleh suaminya. Untuk kausnya, ia membeli kaus jadi berbahan katun combed karena ia belum bisa menjahit sendiri.

Dengan modal awal kurang dari Rp10 juta (sebagian besar habis untuk beli kaus jadi), Ary memulai bisnisnya sejak Februari 2008. Untuk pemasaran, ia memilih media online karena ketika masih bekerja ia memegang rubrik parenting sehingga ia aktif di berbagai milis (terutama milis para ibu). Karena itu, ia paham sekali kekuatan media online, yaitu kecepatan, daya jangkau, dan harga yang murah.

“Ketika pindah ke Solo, saya jadi kurang gaul di internet. Jadi, ketika aktif lagi, saya baru tahu kalau kaus lucu anak itu tengah populer di Jakarta,” katanya. Ary mulai posting produknya di berbagai milis itu. “Karena setiap milis ada jadwal jualan, saya harus tahu di milis A hari apa bisa jualan, di milis B hari apa, dan seterusnya.” Betapa kagetnya Ary, ternyata produk larelare-solo yang dijual Rp35.000-Rp43.000 (di Solo) dan Rp40.000-Rp85.000 (luar Solo) ini mendapat sambutan meriah.


Tulisan ‘Alumni Akademi A.S.I Eksklusif’ itu tercetak dengan tinta hitam di atas sepotong kaus mungil warna kuning terang. Di atas tulisan, ada gambar wajah bayi montok bermata bulat yang mengenakan toga. Taruhan, deh, ibu-ibu pasti akan tergoda untuk segera mendandani pangeran atau putri kecil di rumah dengan kaus imut itu.

Itulah salah satu produk unggulan kaus anak merek larelare-solo. Dan, kalau Anda ngintip alamat maya larelare-solo , bersiaplah untuk terpekik gemas oleh aneka kaus anak lucu yang ada di sana. Misalnya: ‘Dilarang Ngempeng’ (dengan gambar bayi dalam lingkaran yang mulutnya ngemut empeng), ‘Asiholic-pecandu berat air susu ibu’, ‘Bayi Organik’, ‘Peserta Mata Kuliah Toilet Training’, dan masih banyak lagi.


Daya jelajah internet yang luar biasa, selain kebanjiran pemesan, Ary banyak mendapat telepon dari para blogger yang ingin menjadi agennya. Sekarang ini ia punya 10 agen, yang tersebar di berbagai pulau, bahkan sampai Malaysia. “Meski belum semua pernah tatap muka dengan saya, para blogger yang jadi agen saya itu jujur, kok,” katanya. Ia juga melayani pemesanan, yang biasanya langsung dilakukan lewat telepon atau SMS. “Orang kita itu tidak terbiasa pesan lewat internet, jadi online itu hanya menjadi katalog saja.”

Berkah juga datang ketika sedang ikut bazar di sekolah Gendhis, ia ditawari salah satu mal di Solo untuk membuka outlet di sana. “Mungkin, karena produk baru di Solo, dalam 10 hari pertama kami bisa mendapatkan Rp7 juta,” ujarnya. Karena itu, hanya perlu waktu dua bulan saja, Ary sudah bisa membeli 5 mesin jahit.

“Dengan membuat sendiri kaus, harga kami jadi tak terlalu mahal dan margin keuntungan pun bisa bertambah.” Pekerjaan yang dulu ia lakukan hanya berdua suami, kini sudah ditangani 12 karyawan, baik di produksi maupun di pemasaran. Omsetnya pun kini telah mencapai Rp35 juta-Rp50 juta per bulan.


Selain desain yang kreatif (terutama dalam permainan kata), warna yang ditawarkan larelare-solo juga beragam. Warna ‘wajib’ untuk bayi, seperti baby pink dan baby blue, pasti ada. Tetapi, si kecil juga makin kinclong dengan warna merah, fuji green, lime green, kuning, ungu, dan warna standar, yaitu hitam dan putih. Tak heran bila hanya dalam waktu setahun, larelare-solo menjadi bisnis yang sangat menguntungkan bagi pasangan Wilas Ary (29) dan Setyo Tohari (34).


 Mengapa produknya cepat diterima pasar? Selain karena tengah booming, larelare-solo memang memberikan banyak kelebihan. Desain dan warna itu sudah pasti, tetapi Ary sengaja memilih katun combed yang berharga paling mahal untuk kenyamanan si pemakai. Ia juga memanjakan pelanggan dengan layanan personal, misalnya permintaan desain tertentu dengan warna tertentu, atau dengan panjang lengan kaus yang diinginkan.

“Tetapi, kami tetap punya idealisme, yaitu tidak membajak gambar karakter yang sudah ada patennya atau membuat desain yang bertentangan dengan misi edukasi, seperti pemberian ASI atau lainnya,” kata Ary.

Karena 70 persen produknya dipasarkan di internet, Ary mengakui bahwa bisnisnya masih punya kekurangan. “Kami belum punya tenaga khusus untuk menangani media online, karena itu banyak produk terbaru yang belum sempat di-upload,” katanya. Padahal, ia sudah membeli alamat dotcom (.com), yang hingga kini belum sempat ia isi. Selain itu, dia juga mesti memutar otak untuk meluaskan jenis produk agar konsumen tak lekas bosan.












Jumat, 12 Oktober 2012

Dirintis Mahasiswa, BAKSO KEPALA SAPI beromset Rp.1,1 Miliar/thn


Hampir Semua orang pasti kenal bakso. Hampir di setiap kawasan, selalu saja ada dagangan bakso yang menjadi favorit. Bakso, entah bakso apa saja, sepertinya memiliki penggemar sendiri dan membuahkan suplai yang tinggi pula. Dengan kata lain, berbisnis bakso seolah tidak terlalu menjanjikan; karena terlalu mengikuti arus, atau karena tidak ada lagi keunikan yang bisa menjadikan keunggulan.

Buat sebagian orang – terutama anak muda – bakso hanyalah sekedar makanan pengisi perut yang kelasnya tidak akan pernah naik alias selalu merakyat. Oleh karenanya, jarang ada pemuda atau pemudi yang mau menggantunkan nafkah dari usaha menjual bakso. Namun, di tangan Anggara, bakso tampil lebih modern, lebih enak, dan tentu saja..mendatangkan emas!


Kesukaan orang Indonesia terhadap, bakso ditangkap Anggara Kasih Nugroho Jati (24) sebagai peluang. Berbeda dengan penjual bakso yang banyak ditemukan di berbagai tempat, di tangan mahasiawa Institut Teknologi Surabaya (ITS) itu bakso dikemas sebagai sebuah usaha modern. Betapa tidak, dari usaha bakso bernama “Bakso Kepala Sapi” yang dikelolanya,  sulung dari dua bersaudara ini mampu meraup omzet Rp 1,1 miliar per tahun. Sebuah angka yang fantastic bagi seorang pemuda, lajang, dan masih menimba ilmu.

Usahanya dimulai pada 2003. Sebagai mahasiswa, bakso menjadi salah satu alternatif makanan ‘wajib’ karena dapat terjangkau kantong. Secara kebetulan, ia menikmati bakso di sebuah kedai kaki lima di Surabaya. Seperti tersirap, ia bukan hanya dimabuk kuah bakso-yang begitu sedap racikan sang penjual bernama H. Suharto tapi ­juga dibuai asa yang begitu besar. “Sejak itu, otak kiri saya langsung jalan dan saya langsung meminta beliau untuk bekerjasama,” ungkap, Anggara memaparkan ketertarikannya.

Penggemar bakso ini kemudian menyusun rencana membagi jadwal kuliah dan waktu untuk merintia usaha. Tujuannya agar usahanya nanti berjalan rapi, serta bisa berkembang dan diduplikasi Ia pun membuat hitung-hitungan modal dan bagaimana memulainya.

Outlet bakso pertamanya di daerah Klampis, Surabaya, pun dibuka pada tahun yang sama. Lalu, dengan meminjam ruko milik orangtu­anya di Jalan Raya Kebonpedes, Kota Bogor, ia pun membangun outlet pertamanya di luar Surabaya pada 2006.

Kini, dia telah memiliki sejumlah “Bakso Kepala Sapi” yang menjadi pundi-pundi uangnya. Sebagian besar dijalankan di Bogor dan Surabaya, serta dijalankan melalui pola kemitraan dengan investor lain. Dari belasan outletnya, ia memperoleh pemasukan lebih dari Rp 1,1 miliar per tahun, dengan keuntungan bersih untuk dirinya sendiri di atas Rp 100 juta per tahun.

 Anggara nampak sangat jeli melihat peluang bisnis. Otak bisnisnya semakin encer setelah dia mendapat suntikan pengetahuandari seminar-seminar kewirausahaan di berbagai tempat. Lingkungan mendukung karena ia berbaur dengan  komunitas pengusaha.

Ternyata semua usaha tersebut dilakukannya agar dapal mengumpulkan modal untuk mewujudkan mimpinya membuka usaha yang lebih menjanjikan.

Dari seminar-seminar kewirausahaan yang diikutinya, ia banyak mendapat trik dan strategi usaha. Salah satunya adalah mengemas usaha bakso yang akan digelutinya beda dari yang lain. Ia ingin memperkenalkan bakso ke seluruh masyarakat dan membuat mereka dapat menikmati bakso dengan sensasi berbeda, tanpa terkecuali. 

BAKSO RENDAH KOLESTEROL

Ia juga mengerti benar bahwa sebuah usaha harus memiliki ciri atau kekhasan. Kekhasan rasa “Bakso Kepala Sapi” terletak pada sumber bahan dasar bakso dan kuah yang dipakai, yakni kaldu kepala Sapi.

Prediksi kalau bisnis baksonya akan berhasil menjadi kenyataan. Sejak awal pendirian, pundi-pundi keuntungan terus didapatnya. Satu hal yang membuatnya berbeda dari tukang bakso lain adalah moto yang terpampang dalam spanduk Bakso Kepala Sapi (BKS): “Jangan Mengkhayal! Kalau Berani Ambil Rasanya!!” Dengan tulisan yang sangat eye catching ini, Anggara ingin meyakinkan kepada para pengunjung, untuk tidak sekedar `meraba-raba’ rasa BKS. ” Sebaliknya datang dan temukan perbedaan rasa BKS racikan saya dengan bakso lainnya” papar Anggara penuh percaya diri.



Anugerah Bakso Kaki Lima

Berikut petikan hasil wawancara dengan jutawan muda tersebut.

Q: Mengapa memilih usaha bakso dengan nama bakso kepala sapi?

A: Brand bakso kepala sapi itu dibuat supaya eye catching (menarik perha­tian) saja, membuat orang penasaran untuk datang ke counter dan ingin merasakan produk kami. Kemudian diharapkan setelah merasakan dan mendapatkan taste yang berbeda dari bakso kami, mereka datang kembali. Intinya hanya untuk menarik pelanggan saja.

Q: Memangnya Anda hobi makan bakso? Hobi makan juga?

A: Tidak, saya tidak suka makan bakso. Saya tidak bisa membuat bakso, tidak hobi memakan bakso, justru saya lebih suka makan mi ayam. Saya membuka usaha bakso karena saya perhatikan, biasanya penggemar mi ayam itu mayoritas kaum lelaki. Masalahnya, jumlah lelaki lebih sedikit dari kaum perempuan. Padahal kaum perempuan itu biasanya hobi makan bakso. Dengan demikian, perputaran cashflow-nya lebih cepat karena kebanyakan kaum ibulah yang memegang uang, kaum pria hanya mencari. Selain itu juga karena orang Indonesia gemar makan bakso. Kalau makan sih saya suka, tapi saya lebih suka memilih makanan dari segi kuantitasnya, bukan kualitasnya. Yang penting porsinya banyak.

Q: Tadi telah disebutkan bahwa bakso kepala sapi itu hanya sebagai eye catching. Apakah tidak ada unsur kepala sapi sama sekali?

A: Pertama kali maksudnya memang hanya untuk branding saja. Tetapi, belakangan ini kami telah menambahkan kepala sapinya secara langsung sebagai bahan bakso. Mulai dari daging di sekitar pipi dan daging-daging lunak yang berada dalam kepala sapi untuk campuran pembuatan bakso, juga tulang-tulang lunak dan daging yang berada di kepala sapinya pun digunakan untuk menu bakso kepala sapi spesial.

Q: Di samping membuka usaha bakso, apakah Anda memiliki keinginan lain?

A: Saya mempunyai komitmen, ambiai, dan vidi untuk mengembangkan makanan-makanan tradidional di Indonesia. Setelah bakso, saya ingin makanan seperti nasi goreng, pecel lele, dan makanan tradiaional lainnya, dipasarkan dengan satu konsep pemasaran yang bida go national bahkan go international, setelah diberi sentuhan branding.

Q: Dulu awalnya bagaimana bisa membuka usaha bakso, padahal Anda tidak suka makan bakso?

A: Sewaktu kuliah, saya berkeinginan membuka suatu usaha. Jadi terpaksa saya harus mencari dan mencoba-coba berbagai macam makanan, sampai saya bertemu dengan Pak Suharto yang baksonya selalu laris. Saya mencoba berbagai macam bakso untuk dapat melatih taste saya dalam membedakan mana bakso yang enak dan bakso yang tidak enak, dan mana yang konsumen paling suka dan yang tidak suka. Saya juga keliling ke mana-mana mencari tukang bakso. Tapi tetap saja saya tidak suka makan bakso.

Q: Ada tip menjual bakso atau makanan yang enak?

A: kiat terpenting adalah mencari orang yang ahli memasaknya. Seperti ketika saya ingin berbisnis bakso, saya mencoba mencari orang yang ahli dan mahir membuat bakso seperti Bpk Suharto ini. Jadi jika kita ingin berbisnis kuliner, tidak berarti kita harus jago memasak. Cukup merekrut orang-orang yang jago memasak atau koki yang sudah menjadi the best. Maka kita akan dapat membuat suatu produk kuliner yang luar biasa.

Q: Saat ini sudah ada berapa outlet? Dan bagaimana jika ada yang ingin bekerjasama dengan anda?

A: Saat ini saya sudah memiliki sembilan outlet. Dan jika ingin bekerjasama dengan saya, dapat menghubungi saya.

Q:  kira-kira berapa income yang bisa diperoleh?

A: Perhitungan saya, jika dalam satu hari dapat menghasilkan omzet 1,5 juta rupiah, maka frnachise mendapatkan nett income sekitar 6,5 juta setiap bulannya.



Setiap outlet, kata lajang yang juga tercatat sebagai mahasiswa Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya, tidak kurang menghabiskan sekitar 3-5 kg kepala sapi. Kepala sapi direbus bersama bumbu-bumbu lainnya supaya menghasilkan cita rasa yang lebili kuat dan bau yang lebih wangi. Karena pakai kepala sapi dan bukan paha sapi seperti kuah bakso pada lazimnya, kuahnya menjadi rendah kolesterol. Biasanya pada kuah bakso yang lain, lemak selalu menumpuk di atas. Kuah BKS lemak hampir tidak ada. Anda bisa lihat sendiri,”kata Anggara. Karena rendah kolesterol, BKS bisa dikonsumsi oleh mereka yang pantang atau menghindari makanan yang berkolesterol tinggi.

Selain BKS, tersedia pula Bakso Kambing (BK). BK dibuat dari  daging kambing pilihan.

Kekhasan dan cita rasa “Bakso Kepala Sapi” cepat merebak, hingga banyak pengusaha lokal berminat bekerjasama dengan Anggara, pria kelahiran Purwokerto, 25 September 1984. Sukses dengan cabang sebelumnya. di Kebonpedes, Bogor, ia kemudian membuka cabang di Mayor Oking, Cibinong. Cabang kedua di Bogor ini dijalankan melalui pola kemitraan investor lokal.

Kesempatan kerjasama tersebut dilakukan agar baksonya bisa lebih dikenal sampai pelosok Bogor, merajai Bogor, bahkan menembus pasar nasional.

Melihat animo masyarakat dalam menikmati baksonya, serta minat pengusaha untuk bekerjasama, Anggara pun seolah mendapal angin segar dalam upaya mengembangkan dan menduplikasi usahanya. Seperti angannya untuk lebih memperkenalkan “Bakso Kepala Sapi” sampai ke pelosok Bogor, ia pun mengembangkan usahanya dengan cara franchiae. Menurut dia, cara seperti itu sangat efektif karena merekrut investor untuk permodalan sedangkan dia hanya memborl “brand” usahanya. Jadi, tak harus khawatir usaha akan bangkrut, sebab usahanya dilakukan jaringan.

Karena pakai kepala sapi dan bukan paha sapi seperti kuah bakso pada lazimnya, kuahnya menjadi rendah kolesterol ‘Biasanya pada kuah bakso yang lain, lemak selalu menumpuk di atas. Kuah BKS, lemak hampir tidak ada.

 perjuangannya untuk menjadi pengusaha muda yang sukses di bisnis bakso dihadapinya tanpa pantang menyerah. “Kalau tidak begitu mungkin saya tidak banyak belajar. Perjuangan sekeras apapun akan saya lakukan untuk mewujudkan impian menjadi pengusaha muda yang sukses. Sepertinya itu akan segera menjadi kenyataan,” ujarnya.

Meski sukses dalam bisnis, ternyata penyuka motor gede ini harus bekerja keras untuk menyelesaikan kuliahnya. Pemuda yang gemar tampil plontos ini ingin segera menyelesaikan kualiahnya karena beberapa alasan. Pertama, untuk menyenangkan hati orangtuanya, Rachmanto Srie Basuki dan Anie Asmara. Kedua, untuk memenuhi tuntutan calon mertua. Ia juga masih ingin menambah ilmu bisnisnya dan menaruh minat untuk berkecimpung di bisnis properti.






Minggu, 09 September 2012

VANNARA DAN TANISHA - Sukses Memanfaatkan Peluang Usaha Baju Busana Muslim Bermodal 2,5 Juta


memanfaatkan peluang usaha memang perlu kejelian tersendiri. Kalau bingung hendak memulai bisnis apa, coba saja cari tahu apa yang Anda butuhkan. Cara yang sama pernah dilakukan Ika Sufariyanti ketika mulai menggeluti bisnis baju muslim. Saat ini, usahanya telah besar dan mendatangkan omzet lebih dari Rp 200 juta per bulan. 

Baju muslim bermerek Vannara serta baju ibu hamil dan menyusui bermerek Tanisha sudah dia pasarkan melalui 50 agen di seluruh Indonesia.

Keunggulan baju muslim Vannara adalah model yang simpel dan bahannya berkualitas. Tidak seperti baju muslim lain yang kerap terlihat ramai oleh hiasan berupa mote dan manik-manik, model baju muslim Vannara tampak lebih polos, namun tetap trendi. Target pasarnya memang anak-anak kuliahan dan ibu-ibu muda.

Adapun Tanisha lebih unggul karena inovasi terhadap bukaan pada baju untuk menyusui. Maklum, di pasar, belum banyak baju hamil dan menyusui yang nyaman digunakan untuk sehari-hari. 

Sejatinya, ide Ika membuat usaha baju berasal dari kesulitannya menemukan baju muslim yang nyaman. Demikian pula ketika ia hamil dan harus menyusui putra pertama. “Saya sulit menemukan desain baju yang simpel, nyaman, namun sopan,” kata istri dari Ferry Andriyanto ini. Tak disangka, banyak juga orang menemui kesulitan serupa.

Kesempatan Ika memulai usaha datang pada awal tahun 2009. Kala itu Ika yang lulusan Teknik Kimia Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) ini sudah memiliki pekerjaan sebagai distributor baju muslim dari sebuah pabrik. Namun, bermodal uang tabungannya sebesar Rp 2,5 juta, ia nekat memulai usahanya dengan menjual baju muslim buatannya sendiri. Ia menggunakan uang sebesar itu untuk membeli kain warna-warni dasar seperti hitam, biru, merah, dan putih.

Ika membuka kembali 50 coretan desain baju muslim miliknya selepas kuliah dulu. Setelah menemukan empat desain yang paling pas, ia mulai mencari tukang jahit dan menjahitkan pakaiannya. “Perlu waktu sebulan untuk mendapat tukang jahit yang pas dan mengerti keinginan saya,” jelas perempuan kelahiran Padang, 4 Juli 1984 ini.


Kreatif sejak kecil

Benih kejelian Ika melihat peluang sebenarnya sudah tumbuh sejak kecil. Ia terkenal kreatif. Ketika SMP ia sering membuat sendiri kartu lebaran untuk dikirimkan ke teman-temannya lewat pos. Bersama ibunya, ia mengumpulkan daun-daun kering dan berkreasi membuat kartu lebaran dari kertas daur ulang. Ayahnya yang bekerja di PT Semen Padang membawakan kertas-kertas bungkus semen untuk bahan materialnya. Meski tidak dijual, Ika mengaku puas karena bisa membuat teman-temannya senang.

Kendati berasal dari keluarga berkecukupan, Ika tidak dimanja oleh kedua orangtuanya. Sejak kecil, ia terbiasa mendapatkan segala sesuatu dengan berusaha. Ketika menimba ilmu di bangku kuliah, ia baru tergelitik berbisnis kecil-kecilan. Lantaran sering bolak-balik ke Jakarta bersama sang ibu, Ika kerap mendapat aksesori unik dari Tanahabang. Teman-teman kuliahnya suka dan mulai memesan. “Waktu itu, saya dapat untung Rp 100.000 dan langsung dipakai jalan-jalan ke mal,” ujarnya sambil tertawa.

Ika mengaku, kesuksesannya berbisnis baju Vannara diga-wangi oleh pameran yang digelar Komunitas Tangan di Atas (TDA) pada Februari 2009. Itulah babak awal bisnis bajunya. Mewakili dirinya yang sedang hamil besar, suami Ika mengikuti pameran TDA di Jakarta. Tak disangka, empat baju contoh yang dibawakan Ika ludes terjual. Bahkan, permintaan menjadi agen Vannara berdatangan. Dari yang tadinya hanya satu agen, saat ini, Ika sudah memiliki 50 agen lepas di seluruh Indonesia.

Ika sempat kewalahan menangani pesanan. Ia meminta suaminya mengundurkan diri dari perusahaan perkapalan. Maklum, saat itu, Ika yang sedang hamil tua pernah sampai harus mengangkat dua kardus besar berisi 50 potong baju untuk dikirim ke beberapa agen. “Saya sampai menangis karena saat itu justru tak ada yang membantu,” kenangnya. 

Setelah sang suami mengundurkan diri dari tempat kerjanya, Ika lebih fokus mengurusi produksi pakaian muslim dan ibu hamil. Suaminya lebih mengurus bagian pemasaran dan promosi. Dari yang semula hanya memiliki dua karyawan dan satu tukang jahit, saat ini, Ika memiliki 20 tukang jahit dan tujuh karyawan. 

Untuk menguatkan distribusi, Ika membuat sistem keagenan berkala, yaitu agen silver dengan maksimal pembelian 25 potong, agen gold maksimal 50 potong, dan agen platinum dengan maksimal pesanan sebanyak 100 potong baju.

Semua model baju hamil dan melahirkan buatan Ika tersedia lewat bukaan kancing, bukaan ritsleting, dan bukaan tarik samping, sekaligus memudahkan saat menyusui bayi. Rata-rata baju Vannara dan Tanisha dibanderol seharga Rp 150.000– Rp 200.000 per potong. 









Jumat, 24 Agustus 2012

Berkat Internet, MR TACOZ Menemukan Resep yang Disukai


Peluang Usaha juga bisa Berawal dari hobi Melihat lihat resep masakan di internet, Dian Purwaningtyas berhasil meramu makanan khas Meksiko. Ia lalu menawarkan makanan Meksiko itu ke pasar. Mendapat respons positif, omzet Dian kini ratusan juta per bulan.

Membangun usaha bermodalkan hobi dan keyakinan tidaklah mudah. Namun, tidak demikian dengan Dian Purwaningtyas (31), pemilik Peluang usaha makanan khas Meksiko dengan brand Mr Tacoz.

Usaha yang berbasis di Malang, Jawa Timur, ini mampu mendulang omzet hingga ratusan juta per bulan. Kemampuannya meramu makanan Meksiko ini diperoleh dari kegemarannya berburu resep masakan dari seluruh dunia. "Saya berburu resep-resep makanan melalui media internet," kata Dian.

Selama ini, Dian memang selalu penasaran dengan sesuatu yang terjadi di dunia luar, terutama dalam hal makanan. Rasa penasaran itu juga yang mendorongnya rajin berburu resep masakan lewat internet. 

Di internet, ia kemudian menemukan resep masakan khas Meksiko yang dianggapnya cocok dengan selera masyarakat Indonesia. "Ciri khasnya agak pedas-pedas, cocok dengan lidah masyarakat Indonesia," ujarnya. 

Setiap menemukan resep yang menarik, Dian selalu mencoba untuk mempraktikkannya. Begitu juga ketika menemukan resep masakan Meksiko.

Ia pun tertarik untuk belajar meramu masakan dari negara Amerika Latin itu. Dari beberapa kali mencoba, ia lalu berhasil menghidangkan masakan Meksiko yang lezat. 

Salah satunya adalah tacoz. Makanan Meksiko ini serupa kebab, yakni sayuran dan daging yang dibalut roti tortila. Bedanya, kulit tortila pada tacoz ada yang krispi. Perpaduan bumbu khas dengan dominasi citarasa nan pedas dan gurih sesuai dengan lidah orang Indonesia. 

Lantaran sesuai dengan lidah orang Indonesia, ia yakin peminat tacoz di Indonesia lumayan banyak. Dari situ ide bisnisnya kemudian muncul. 

Pada Desember 2007, ia kemudian memberanikan diri untuk mendirikan gerai pertama sebagai peluang usaha di Malang. Untuk brand usaha ia memakai nama Mr. Tacoz. 

Ia merintis usaha ini hanya dengan modal awal Rp 1,5 juta. Modal yang tak seberapa itu antara lain dipakai untuk membeli gerobak bekas. 

Supaya tampak menarik, gerobak bekas itu kemudian dicat kembali. "Lalu saya beri gambar kartun lengkap dengan kumisnya dan tulisan Mr Tacoz," jelasnya. 

Selain tacoz, peluang usaha milik dia juga menyediakan menu lain, seperti nacoz, mexico fries alias kentang berbumbu meksiko, dan tacoz burger. Makanan-makanan itu dibanderol mulai Rp 7.500 sampai Rp 15.000 per porsi. 

Di masa awal merintis usaha, Dian rajin mengikuti bazar dan pameran di kampus dan sekolah-sekolah. Berkat usahanya itu, Mr Tacoz mendapat sambutan pasar yang cukup antusias. "Setiap hari, dalam waktu tiga jam sudah ludes terjual," jelas Dian. 

Melihat respons pasar yang positif, pada tahun 2009 ia resmi menawarkan kemitraan. Hingga saat ini, Dian sudah memiliki 40 gerai di sejumlah kota besar di Indonesia, seperti Bandung. 

Selain konsep booth, gerai-gerai itu juga ada yang mengusung konsep mini kafe. Dari usahanya ini, Dian meraup omzet lebih dari Rp 100 juta per bulan. 


Sejak kecil, Dian tak pernah punya keinginan menjadi pengusaha. Selepas kuliah, ia sempat menjadi pengajar di lembaga pendidikan anak usia dini (PAUD). Namun, kariernya tidak lama. Lantaran hobi berburu resep makanan di internet, ia lalu memutuskan terjun ke bisnis kuliner.

Dian Purwaningtyas mengaku tak pernah menyangka bakal terjun ke bisnis kuliner. Apalagi, dia lulusan dari jurusan Biologi di Universitas Brawijaya, Malang. 

Selepas kuliah, Dian juga sempat bekerja di sebuah lembaga pendidikan anak usia dini (PAUD) dengan jabatan kepala sekolah dan dewan pembuat kurikulum. 

Namun, kariernya di dunia pendidikan tidak bertahan lama. Dian hanya betah mengajar beberapa bulan saja di sana dan akhirnya memilih keluar. "Saya merasa tidak satu visi dengan pemilik sekolah dalam prinsip pendidikan anak-anak," jelas wanita kelahiran 1980 ini. 

Setelah keluar dari dunia pendidikan, Dian memilih tidak melamar pekerjaan ke tempat lain. Ia justru melanjutkan hobi lamanya saat masih kuliah dulu, yakni menjelajah dunia internet dan mencari hal-hal baru di sana. 

Sebagai penyuka kuliner, Dian pun Senang berburu resep-resep baru di internet. Nah, sebelum menemukan resep masakan khas Meksiko, ia sempat mencoba meramu makanan khas Jepang. Resep itu juga didapat dari internet. 

Oleh Dian, resep makanan Jepang itu dimodifikasi sesuai dengan selera lidah orang Indonesia. Untuk mewujudkan idenya ini, ia sempat meminta bantuan mahasiswa tata boga.

Saat itu, tidak kurang dari 39 menu masakan khas Jepang berhasil dimodifikasinya. Ia kemudian mencoba menawarkan menu makanan Jepang itu ke pasar. 

"Dan, saya kaget ketika menu-menu hasil modifikasi saya itu ternyata disukai di pasaran," jelas Dian. 

Saat itu, bisnis kuliner Jepang ini dikelolanya dengan mengusung konsep kafe. Modalnya, patungan dengan beberapa temannya.

Namun, bisnis ini tidak bertahan lama. Manajemen yang buruk membuat bisnis ini terseok-seok. Selain karena minim pengalaman, usaha ini juga terkendala modal yang minim. 

Beruntung, ada orang lain yang mau mengambil alih usaha kafe ini. Dengan terpaksa, ia pun melepaskannya. "Saya sangat kehilangan saat itu," kenang Dian. 

Namun, ia tidak mau larut dalam putus asa. Pengalaman itu justru membuatnya semakin semangat untuk terjun ke bisnis kuliner. 

Sejak itu, ia kembali sibuk berburu resep makanan di internet. Pilihannya kemudian jatuh ke makanan Meksiko. Selain sesuai selera orang Indonesia, makanan Meksiko juga masih sepi pemain. "Beda dengan masakan kontinental atau American junk food," ujarnya.

Belajar dari pengalaman sebelumnya, kali ini ia tidak mau gagal lagi. Mengusung brand Mr. Tacoz, makanan Meksiko hasil racikannya ternyata diminati pasar. Dari sisi manajemen usaha juga diperkuat. "Saya juga rajin ikut pameran," ujarnya. 


Sebagai pebisnis, naluri Dian Purwaningtyas melebarkan usahanya tak pernah padam. Ia berambisi, bisnis makanan Meksiko dengan brand Mr Tacoz bisa berkembang hingga keluar negeri. "Minimal bisa masuk Asia Tenggara, seperti Malaysia," kata Dian.

Untuk menggapai ambisinya itu, Dian sudah menyiapkan rencana. Antara lain memperkuat jalur distribusi melalui Pulau Sumatra. Demi kelancaran jalur distribusi ia akan membangun gudang tempat penampungan produk di Sumatra. Operasional gudang dan jalur distribusi ini akan dikelola oleh kantor cabang. 

Untuk di dalam negeri, saat ini Mr Tacoz sudah memiliki 40 gerai yang tersebar di sejumlah kota besar di Indonesia. Sebagian besar gerai tersebut milik mitra usaha.

Selain fokus membesarkan Mr Tacoz , Dian juga sibuk menggarap bisnis lain. Sejak empat bulan terakhir, ia merintis bisnis minuman cokelat di Mr Tacoz. Karena prospeknya lumayan menjanjikan, ia pun memilih memisahkan bisnis ini dengan Mr Tacoz. Untuk brand usaha, ia memberi nama The Soklat. 

Hingga kini, The Soklat memiliki lima gerai. Satu di antaranya milik sendiri dan sisanya milik mitra. Sejak awal dirintis, Dian memang langsung menawarkan kemitraan usaha. 

Membanderol Rp 7.000 - Rp 8.000 per gelas, ia bisa meraup omzet Rp 8 juta per bulan. Dian meramu bahan baku minuman ini dari bubuk cokelat terbaik, gula singkong rendah kalori, dan susu rendah kolesterol. 

Ke depan, Dian ingin mengembangkan usaha ini menjadi rumah cokelat. "Jadi saya tidak lagi menjual minuman cokelat saja, tapi juga berbagai bentuk produk cokelat," papar Dian. 

Bersama suaminya, Lin Budiarto juga mengelola usaha pembuatan dan desain gerai dengan brand Bakoel Outlet. Berbekal pengalamannya, Dian paham betul apa yang diinginkan pedagang saat memesan gerai. 

Ia mengklaim, gerainya banyak diminati karena harganya lebih murah. Misalnya, untuk ongkos mendesain outlet, Dian hanya membanderol Rp 250.000 per gerai.

Jika membuat gerobak plus desainnya, harganya mulai Rp 1,5 juta hingga Rp 12 juta. "Harganya bervariasi sesuai desain dan bahan baku yang digunakan," paparnya. 













Rabu, 15 Agustus 2012

Pengusaha Sukses yang berawal dari Tukang Sapu


Peluang Usaha apapun kalau dimanfaatkan semaksimal mungkin seringkali menjadikan kesuksesan, seperti yang dialami Tri Sumono kini pengusaha sukses dengan omzet ratusan juta. Ia mengawali langkahnya di dunia usaha dengan menjadi pedagang aksesori kaki lima. Ulet dan tekun membuat usahanya terus berkembang.

Pepatah lama yang menyatakan "hidup seperti roda berputar" tampaknya berlaku bagi Tri Sumono. Berawal dari menjadi kuli bangunan hingga tukang sapu, kini Tri sukses menjadi pengusaha beromzet ratusan juta rupiah per bulan.

Lewat perusahaan CV 3 Jaya, Tri Sumono mengelola banyak cabang peluang usaha, antara lain, produksi kopi jahe sachet merek Hootri, toko sembako, peternakan burung, serta pertanian padi dan jahe. Bisnis lainnya, penyediaan jasa pengadaan alat tulis kantor (ATK) ke berbagai perusahaan, serta menjadi franchise produk Ice Cream Campina. "Saya juga aktif jual beli properti," katanya.

Dari berbagai lini usahanya itu, ia bisa meraup omzet hingga Rp 500 juta per bulan. Pria kelahiran Gunung Kidul, 7 Mei 1973, ini mengaku tak pernah berpikir hidupnya bakal enak seperti sekarang.

Terlebih ketika ia mengenang masa-masa awal kedatangannya ke Jakarta. Mulai merantau ke Jakarta pada 1993, pria yang hanya lulusan sekolah menengah atas (SMA) ini sama sekali tidak memiliki keahlian.

Ia nekat mengadu nasib ke Ibu Kota dengan hanya membawa tas berisi kaus dan ijazah SMA. Untuk bertahan hidup di Jakarta, ia pun tidak memilih-milih pekerjaan.

Bahkan, pertama bekerja di Jakarta, Tri menjadi buruh bangunan di Ciledug, Jakarta Selatan. Namun, pekerjaan kasar itu tak lama dijalaninya. Tak lama menjadi kuli bangunan, Tri mendapat tawaran menjadi tukang sapu di kantor Kompas Gramedia di Palmerah, Jakarta Barat.

Tanpa pikir panjang, tawaran itu langsung diambilnya. "Pekerjaan sebagai tukang sapu lebih mudah ketimbang jadi buruh bangunan," jelasnya.

Lantaran kinerjanya memuaskan, kariernya pun naik dari tukang sapu menjadi office boy. Dari situ, kariernya kembali menanjak menjadi tenaga pemasar dan juga penanggung jawab gudang.

Pada tahun 1995, ia mencoba mencari tambahan pendapatan dengan memanfaatkan  peluang usaha berjualan aksesori di Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta. Saat itu, Tri sudah berkeluarga dengan dua orang anak. Selama empat tahun peluang usaha Tri Sumono berjualan produk-produk aksesori, seperti jepit rambut, kalung, dan gelang di Jakarta. Berbekal pengalaman dagang itu, tekadnya untuk terjun ke dunia bisnis semakin kuat. "Saya dagang aksesori seperti jepit rambut, kalung, dan gelang dengan modal Rp 100.000," jelasnya.

Setiap Sabtu-Minggu, Tri rutin menggelar lapak di Stadion Gelora Bung Karno. Dua tahun berjualan, modal dagangannya mulai terkumpul lumayan banyak.

Dari sanalah ia kemudian berpikir bahwa berdagang ternyata lebih menjanjikan ketimbang menjadi karyawan dengan gaji pas-pasan. Makanya, pada tahun 1997, ia memutuskan mundur dari pekerjaannya dan fokus untuk berjualan.

Berbekal uang hasil jualan selama dua tahun di Gelora Bung Karno, Tri berhasil membeli sebuah kios di Mal Graha Cijantung. "Setelah pindah ke Cijantung, bisnis aksesori ini meningkat tajam," ujarnya.

Tahun 1999, ada seseorang yang menawar kios beserta usahanya dengan harga mahal. Mendapat tawaran menarik, Tri kemudian menjual kiosnya itu. Dari hasil penjualan kios ditambah tabungan selama ia berdagang, ia kemudian membeli sebuah rumah di Pondok Ungu, Bekasi Utara. Di tempat baru inilah, perjalanan bisnis Tri dimulai.

Pengalaman berjualan aksesori sangat berbekas bagi Tri Sumono. Ia pun merintis usaha toko sembako dan kontrakan. Sejak itu, naluri bisnisnya semakin kuat. 

Saat itu, ia langsung membidik usaha toko sembako. Ia melihat, peluang bisnis ini lumayan menjanjikan karena, ke depan, daerah tempatnya bermukim itu bakal berkembang dan ramai. "Tapi tahun 1999, waktu saya buka toko sembako itu masih sepi," ujarnya.

Namun, Tri tak kehabisan akal. Supaya kawasan tempatnya tinggal kian ramai, ia kemudian membangun peluang usaha  sebanyak 10 rumah kontrakan dengan harga miring. Rumah kontrakan ini diperuntukkan bagi pedagang keliling, seperti penjual bakso, siomai, dan gorengan. 

Selain mendapat pemasukan baru dari usaha kontrakan, para pedagang itu juga menjadi pelanggan tetap toko sembakonya. "Cara itu ampuh dan banyak warga di luar Pondok Ungu mulai mengenal toko kami," ujarnya.

Seiring berjalannya waktu, naluri bisnisnya semakin kuat. Tahun 2006, Tri melihat peluang bisnis sari kelapa. Tertarik dengan peluang itu, ia memutuskan untuk mendalami proses pembuatan sari kelapa. Dari informasi yang didapatnya diketahui bahwa sari kelapa merupakan hasil fermentasi air kelapa oleh bakteri Acetobacter xylium.

Untuk keperluan produksi sari kelapa ini, ia membeli bakteri dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Bogor. "Tahap awal saya membuat 200 nampan sari kelapa," ujarnya.

Sari kelapa buatannya itu dipasarkan ke sejumlah perusahaan minuman. Beberapa perusahaan mau menampung sari kelapanya. Tetapi, itu tidak lama. Lantaran kualitas sari kelapa produksinya menurun, beberapa perusahaan tidak mau lagi membeli. Ia pun berhenti memproduksi dan memutuskan untuk belajar lagi.

Untuk meningkatkan kualitas sari kelapa, ia mencoba berguru ke seorang dosen Institut Pertanian Bogor (IPB). Mulanya, dosen itu enggan mengajarinya karena menilai Tri bakal kesulitan memahami bahasa ilmiah dalam pembuatan sari kelapa. "Tanpa sekolah, kamu sulit menjadi produsen sari kelapa," kata Tri menirukan ucapan dosen kala itu.

Namun, melihat keseriusan Tri, akhirnya sang dosen pun luluh dan mau memberikan les privat setiap hari Sabtu dan Minggu selama dua bulan. Setelah melalui serangkaian uji coba dengan hasil yang bagus, Tri pun melanjutkan kembali produksi sari kelapanya. 

Saat itu, ia langsung memproduksi 10.000 nampan atau senilai Rp 70 juta. Hasilnya lumayan memuaskan. Beberapa perusahaan bersedia menyerap produk sari kelapanya. Sejak itu, perjalanan bisnisnya terus berkembang dan maju.

Kamis, 02 Agustus 2012

Peluang Usaha KLOOM CLOGS, Sukses yang dari iseng


Peluang Usaha dan Kesuksesan bisa saja bermula dari keisengan dan coba-coba. Tengok saja pengalaman Nadia Mutia Rahma, pemilik Kloom Clogs. Mengandalkan desain yang modern, kelom produksinya langsung diminati pasar, khususnya pembeli di luar negeri.

Kalau cuma berwujud alas kaki kayu sederhana yang bertalikan karet, kelom mungkin hampir hilang dari peredaran. Sebagai gantinya, orang lebih suka memakai sandal jepit atau alas kaki modern lainnya.

Tapi, di tangan Nadia Mutia Rahma, sandal kayu yang di beberapa wilayah di Indonesia juga disebut teklek itu bisa berubah menjadi produk alas kaki harus unik, nyaman, dan disukai konsumen. Bahkan kelom bermerek Kloom Clogs hasil kreasi Nadia sukses menembus pasar luar negeri.

Nadia mengubah tampilan kelom yang lazimnya berdesain batik dan ukiran dengan teknik pengecatan air brush. Dus, kelom tradisional dimodifikasi menjadi sepatu dengan desain yang lebih modern. Ia memadukan kayu dan kulit gaya Eropa. Hasilnya adalah aneka desain kelom yang unik, trendi, modern, fashionable, dan elegan.


Jika kita tengok ke belakang, mungkin, tak ada yang mengira kelom produksi anak pertama dari dua bersaudara ini bakal ngetop. Pasalnya, kelom Nadia hanya buah dari iseng. Sejak kelas dua SMA atau sekitar 2006, Nadia tinggal di Tokyo, Jepang, mengikuti sang ayah yang bertugas di sana. Selulus SMA, ia masuk ke sekolah pendidikan bahasa Jepang. Tahun 2009, dia masuk sekolah fashion di Esmod Tokyo. Di tempat ini, ia menemukan banyak teman dari berbagai negara, terutama dari Skandinavia. “Di Indonesia, anak muda suka banget sepatu-sepatu merek asing. Tapi, teman saya dari Skandinavia justru mengoleksi kelom,” ujarnya.

Nadia baru tahu bahwa kelom memang menjadi salah satu bagian dari kebudayaan masyarakat Skandinavia. Dia lantas membeli sepasang kelom. “Akhir 2010, saya ke Indonesia untuk liburan karena jenuh di Jepang. Ternyata, liburannya keterusan,” katanya.

Alhasil, Nadia meninggalkan bangku sekolah di Esmod Tokyo. “Saya hanya sekolah selama enam bulan di sana,” katanya. Pulang ke Yogyakarta, ia mencari tukang sepatu yang bisa membuatkan kelom seperti miliknya. Dia menemukan perajin di kawasan Monumen Jogja Kembali (Monjali).

Awalnya Nadia hanya membuat tujuh pasang kelom. Dengan membanderol Rp 250.000 per pasang, barang hasil peluang usaha iseng itu langsung ludes dibeli tetangganya. Otak bisnisnya yang diwariskan dari sang ayah mulai berputar. Dia ingin memproduksi dalam jumlah besar. “Kebetulan, saya suka gambar, saya coba desain sendiri. Semua autodidak, sebab di Esmod saya tidak belajar desain sepatu,” kata gadis ayu ini.

Sulit mencari mitra
Nadia memutuskan ikut pendidikan di Akademi Teknologi Kulit (ATK) Yogyakarta untuk mempelajari ilmu mengenai aneka produk kulit. Maklum, kulit menjadi bahan baku peluang usaha sepatunya, selain kayu pinus, mahoni, dan sampang. “Cuma bertahan tiga bulan. Baik di Esmod maupun ATK tak sampai lulus,” katanya.

Namun, dari dua sekolah itu, Nadia bisa mendapatkan jaringan bisnis. Dari teman-temannya di Esmod, ia mendapat jaringan pembeli di luar negeri dan dari teman di ATK, ia mendapat jaringan perajin dan pemasok bahan baku.

Dengan modal awal tabungan Rp 30 juta, Peluang usaha Nadia mulai memproduksi dalam jumlah besar. “Semua saya jual secara online via Facebook dan blog,” katanya. Saat itu, ia baru memiliki lima perajin. Sang ibu membantu peluang usahanya di bagian pemasaran sedangkan Nadia lebih fokus di bagian produksi.

Kemudian, Nadia mencoba membuka gerai di Kemang, Jakarta Selatan. Dari situ, ada yang mengajaknya berpameran di JCC, Pondok Indah Mall, Gandaria City, dan Plaza Indonesia.
Untuk memperbesar kapasitas produksi peluang usaha, Nadia menjual mobil untuk tambah modal. Tapi, ia kesulitan menambah tenaga kerja. Asal tahu saja, 70% pengerjaan produk kelomnya menggunakan mesin dan sisanya mengandalkan keterampilan manusia. “Nah, mencari tenaga untuk membuat ini sangat sulit. Benar-benar harus mendapatkan orang yang terampil,” kata Nadia yang sekarang memiliki puluhan karyawan.

Pemasaran via internet jadi kunci sukses peluang usaha Nadia. Ia juga aktif ikut pameran. Tahun lalu, ia pameran di London. Tahun ini, ia bakal ikut pameran di Hong Kong dan Paris untuk meningkatkan ekspor.

Saat ini, kelom kreasi peluang usaha Nadia diminati oleh konsumen di Finlandia, Swedia, Islandia, Norwegia, dan Denmark. “Ada juga yang dikirim ke Australia dan Amerika Serikat (AS),” kata dara kelahiran Yogyakarta, 12 Juni 1989 ini. Omzetnya dari bisnis ini bisa mencapai ratusan juta setiap bulan.

Nadia menargetkan, tahun ini, peluang usaha ia bisa memproduksi 12.000 pasang kelom atau dua kali lipat produksi tahun lalu yang sekitar 6.000 pasang. Ia membanderol kelomnya mulai Rp 175.000 hingga Rp 450.000 per pasang. “Fokus kami tidak hanya di pasar ekspor, tapi juga akan lebih giat menggarap pasar dalam negeri yang belum banyak tergarap,” ujar Nadia yang belum lama ini membuka galeri di kawasan Bumi Serpong Damai.



Jumat, 27 Juli 2012

Makin Banyak Pilihan Peluang Usaha

        Peluang Usaha Mencari Uang bisa muncul dan Sukses dari bidang yang bermacam macam, bisa dari bidang Kuliner, bidang Fashion, bidang Otomotif, dan lain lain

       akhir akhir ini yang Makin banyak diminati untuk dijadikan bisnis adalah produk perawatan, karena ternyata makin banyak yang melakukan perawatan tubuh, dan sebagian besar konsumennya wanita, dimana wanita suka belanja kan? jadi perputarannya cepat, mulai parfum, make up, lotion perawatan kulit cantik, Shampo, Pembersih wajah, dsb. banyak yang pakai, bahkan sekarang banyak juga Lelaki pakai parfum dan pembersih wajah..

       Salah satu Produk perawatan tersebut adalah Oriflame, Merk produk Perawatan Impor Berkualitas Tinggi dari Swedia dengan banyak jenisnya, mulai Tata rias lengkap, Pembersih Wajah, Lotion perawatan kulit, Parfum, dan banyak lagi. harganya pun bervariasi, mulai 10ribu-an sampai ratusan ribu, bisa dicek di SebelahSini

      beberapa keunggulan join Oriflame, pertama adalah Diskon/laba yang tinggi, setiap member dapat Diskon/laba sebesar 23% dari harga barang yang dijualnya, banyak kan untungnya...? Kalau kita Pakai sendiri pun, juga sudah untung, karena dapat Produk Impor dengan harga member yang diskon
   
   Keunggulan kedua adalah banyaknya kantor cabang yang tersebar di seluruh indonesia, hal ini memudahkan untuk pengiriman barang pesanan ke konsumen. mulai Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dsb. selengkapnya bisa dilihat di SebelahSini
         
     Keunggulan lain yang juga membikin banyak yang Tertarik Bergabung adalah murah dan mudahnya syarat bergabung, dengan uang Rp. 49.900 (cuma sekitar 50 ribu) dan KTP, kita bisa segera menikmati keunggulan keunggulan diatas

      
            Berikut adalah Beberapa yang sudah menikmati banyak Keunggulan Join oriflame

Para wanita ini memanfaatkan Facebook untuk mencari penghasilan, cek pendapatan per bulan mereka di SebelahSini

Para Lelaki yang ikut Menikmati Serunya Bisnis Produk Perawatan, Simak pengakuan mereka  di SebelahSini

Buat yang sudah kerja kantor, Join Oriflame pun bisa jadi satu cara mendapat Penghasilan Tambahan, seperti bisa diklik di SebelahSini

Merasa Masih muda tapi sudah ingin belajar cari Uang? beberapa contoh bisa diklik alasannya di SebelahSini

Ada Juga Para Bunda yang Join Oriflame karena ingin Kerja cari duit di Rumah, karena bisa sambil Urus Anak dan Masak, bisa diklik di SebelahSini

Bagi yang Sekedar ingin belajar bagaimana ilmu bisnisnya saja pun, bisa diklik di Sebelah Sini

Buat yang pengen jadiin sebagai Bisnis OnLine, bisa diklik di SebelahSini

Ada yang berhasil Merubah Kesusahan Hidup jadi Sukses dengan Oriflame lho, Klik Contohnya di SebelahSini

termasuk konsumen setia produk perawatan..? Simak Biaya yang bisa dihemat dengan jadi Member di  SebelahSini

sedang Ingin Bisnis yang bisa Bertahan sampai Hari Tua...? boleh klik SebelahSini

mau tahu keiistimewaan produk kesehatan kami,klik SebelahSini ya

Punya Banyak Impian? wujudkan dan klik SebelahSini

jadi itu sekilas sekedar informasi adanya satu lagi Pilihan Peluang Usaha, Semoga Bermanfaat..

Info lain lebih jelas, lengkapi form di bawah ini yach yaa....



Mbak Ingin Dapat Panduannya...? Isi Form dibawah ini yach
Kami Jaga kerahasiaan Data Mbak




.

Selasa, 24 Juli 2012

Peluang Usaha SANDAL INOVATIF Untungnya Lumayan


Bisnis sandal dan sepatu tak selalu harus besar. Asal punya kiat jitu, laba pasti bisa ditangguk. Itulah yang dilakukan Rio Pernando, pemilik Kios Brombek Sandal dan Sepatu Inovatif di Jakarta.

Dari peluang usaha bisnis sandal dan sepatu inovatif yang digelutinya, kios kecil Rio mampu mengeruk keuntungan Rp5 juta-Rp7 juta per bulan. Prinsip bisnis yang dianut Rio sederhana saja, sandal dan sepatu adalah barang yang selalu dibutuhkan oleh setiap orang. Karena itu, pemuda kelahiran Padang, Sumatera Barat (Sumbar) itu yakin selalu ada pasar untuk barang dagangannya. Tinggal lagi, memilih produk yang tepat yang akan selalu mampu menarik minat pembeli.

“Karena sepatu dan sandal adalah benda yang dibutuhkan hampir semua orang, dari awal impian saya sudah bulat untuk menekuni bisnis tersebut,” ungkap Rio.

Karena itu, walaupun tidak sanggup memiliki toko sepatu yang mewah seperti yang berada di pusat-pusat perbelanjaan di kota besar, Rio yakin peluang usaha kios sandal dan sepatu kecilnya cukup untuk memulai bisnis impiannya.

Impian tersebut diwujudkannya dengan membuka kios sandal dan sepatu di Jalan Kayu Manis VIII, Jakarta Timur. Namun, sadar bahwa kios kecilnya tidak akan menarik jika tidak menawarkan sesuatu yang lebih, Rio pun berinovasi.

Maka,kios kecilnya pun meriah dengan warnawarni dari sandal dan sepatu yang dipajang di depan serta di dalam etalase tokonya. Strategi itu efektif, maka mantaplah Rio menggeluti dan menekuni peluang usaha bisnis yang disebutnya sepatu dan sandal inovatif.

Inovatif, menurut dia, karena sepatu dan sandal yang dijualnya memiliki keunggulan jika dibandingkan dengan sandal yang dijual di tempat lain. Sandal dan sepatu yang dijualnya berdesain menarik, bahkan unik, dengan warna dan motif yang beragam.

Dengan menjual peluang usaha produk yang demikian, kata dia, segmen pasarnya pun beragam, mulai dari anak-anak,remaja hingga orang tua. “Sepatu dan sandal yang kita jual di sini semuanya harus bernuansa inovatif dan kreatif. Bukan sekadar sepatu atau sandal biasa seperti yang dijual di toko-toko pada umumnya,” jelasnya.

Bisnis sepatu dan sandal inovatif yang ditekuni pemuda kelahiran 1975 ini menurut dia memang baru berjalan sejak dua tahun yang lalu. Namun, sejak bisnis itu digelutinya, Rio mengaku tidak tertarik untuk beralih ke bisnis lain. Padahal, sebelum menggeluti bisnis sepatu dan sandal inovatif, Rio mengaku telah mencoba berbagai jenis usaha dan bisnis lain. Hal itu tak lepas dari perjalanan panjangnya dalam berbisnis.

Kendati masih terbilang muda, Rio mengaku memiliki pengalaman hidup serta bisnis yang cukup panjang. Hal itu, jelas dia, menjadi faktor yang membentuk keteguhannya dalam berusaha, salah satu modal yang terpenting untuk memulai bisnis.

Rio bercerita, dia memulai perjalanan peluang usahanya sejak meninggalkan tanah kelahirannya di Padang, saat dirinya masih kelas lima sekolah dasar menuju ke Jambi. “Waktu itu saya ingat sekali, saya masih ingusan dan masih memakai celana pendek, tapi saya sudah nekat ingin berjuang sendiri,” tuturnya.

Di Jambi, Rio ikut dengan orang dan membantu berjualan sepatu dan sandal. Sambil bekerja di Jambi, Rio menyelesaikan pendidikannya di tingkat sekolah menengah pertama (SMP).
.

Di Bandung, pemuda yang berulang tahun pada bulan Agustus itu juga menyempatkan diri untuk menggeluti bisnis pakaian bekas yang dibelinya dari Batam. “Waktu itu, sambil menjalani bisnis itu, saya mulai yakin bahwa tetap saja yang paling berpeluang adalah bisnis sepatu dan sandal,” kata Rio.

Karena itu, tekadnya pun bulat untuk membuka bisnis sepatu dan sandal. Dari segala jerih payahnya di Bandung, Rio pun mengumpulkan uang untuk modal memulai bisnisnya di Jakarta.

Di Jakarta, Rio membeli kios seharga Rp10 juta. Untung, kios yang dibelinya dijual dengan segala isi yang ada di dalamnya,termasuk sandal hias. “Jadi saya tinggal mengelola dan melanjutkan. Itu sesuai dengan yang saya inginkan,” tuturnya.

Seiring waktu, usaha Rio pun berkembang. Dia rajin mencari produk baru yang menarik untuk dijual di kiosnya. Para pelanggan pun terus berdatangan. Soal prospek bisnis sepatu dan sandal inovatif yang digelutinya, Rio menjawab bijak.

Menurut dia, kunci sukses adalah mencintai pekerjaan yang dilakoni. Sebab, jika tidak mencintai bisnis yang digeluti, bisnis itu tidak akan berjalan, apalagi memberikan keuntungan.

“Apa pun yang dilakukan, khususnya dalam dunia bisnis,pasti ada hasil yang akan dituai. Kalaupun belum sukses, setidaknya menghasilkan.Tapi akan jauh lebih baik jika kita juga mencintai bisnis itu,” ujarnya.

Dua tahun menggeluti bisnis sepatu dan sandal inovatifnya, Rio mengaku sudah mampu memenuhi kebutuhan pokoknya, menabung, dan bahkan menyewa satu lagi kios di samping kios sepatu dan sandal miliknya.“Tanpa bisnis ini, hidup saya tidak akan seperti sekarang,” tuturnya. 




Sayang Hewan menjadi modal bisnis MARRYBUNNYTOWN


Rasa cinta Sary Melati atau yang biasa disapa Sary akan hewan peliharaan tercermin dari raut wajahnya yang berbinar ketika menceritakan hewan-hewan di petshop-nya. Saat berbincang-bincang  ibu yang juga hobi menulis ini sempat menuturkan kiat memelihara hewan peliharaan, “Jangan memanusiakan hewan karena itu akan menyalahi kodrat alami mereka.”

Bagi Sary dan keluarga, hewan tak seperti manusia. Mereka tak berpikir, mereka hanya merespon energi pemiliknya karenanya sang pemilik wajib memberikan energi positif kepada hewan peliharaan. Dalam merawat serta memelihara hewan sebaiknya jangan anggap mereka seperti anak sendiri dengan memberikan perhatian berlebihan serta fasilitas yang didasari pada hasrat sang pemilik yang sebenarnya tak dibutuhkan oleh hewan. “Tetaplah menganggap hewan sebagai hewan. Anda cukup mencintainya dan memenuhi kebutuhan alaminya. Treat your pet well,” saran Sary.

Sesuai pengakuan Sary kepada CE, bisnisnya yakni MaruBunnyTown.Com didirikan bukan semata-mata untuk menghasilkan uang atau keuntungan berlimpah. “Bisnis kami adalah bisnis hobi. Kami tidak menjual produk yang dapat diproduksi secara massal dan dijual dalam jumlah banyak,” jelasnya. MaruBunnyTown melibatkan makhluk hidup lain yang memerlukan waktu untuk berkembang biak serta pemeliharaan dan perawatan yang tepat.

Sary beserta M. Ahadiyat, suaminya, lebih mementingkan kualitas serta kesehatan pet sebelum ada pelanggan yang berminat membelinya dari mereka. Keduanyapun menerapkan sistem pembelian hewan peliharaan dengan sebelumnya memasang foto anakan pets di internet dan mengarahkan calon pembeli untuk mengunjungi serta membaca blog MaruBunnyTown terlebih dahulu sebelum datang ke tempat mereka. Bagi Sary, hal itu sangat penting agar calon pembeli bisa tahu kondisi hewan peliharaan yang akan mereka beli. Selain untuk memuaskan hati pelanggan, cara ini juga berguna untuk memastikan bahwa hewan peliharaan yang berasal dari toko online mereka dalam kondisi sehat.

Bercerita mengenai awal pendirian usaha petshop online-nya, Sary menuturkan mulanya konsep bisnis MaruBunnyTown.Com adalah online petshop rabbit speciality yakni menjual beragam jenis kelinci hias hasil ternak sendiri di rumahnya yang berlokasi di Sawangan, Depok, serta menyediakan dan menjual pakan, vitamin atau obat dan beragam perlengkapan khusus kelinci. Strategi online diambil Sary dan sang suami dengan alasan dapat meminimalisasi biaya sebab tak perlu mengeluarkan uang untuk menggaji karyawan sebagaimana halnya bila mereka memiliki toko. Berbekal sarana yang memang sudah dimiliki yaitu koneksi internet dan laptop, Sary menganggap online merupakan konsep yang jauh lebih praktis dalam berbisnis. Merekapun bisa membagi waktu dengan lebih efisien, kapan harus mengelola bisnis dan kapan mengurus rumah tangga serta meluangkan waktu untuk anak-anak mereka.

Penjualan secara online itu resmi dilakukan pada 24 Desember 2009 dengan memanfaatkan blog mereka yang beralamatkan di http://marubunnytown.blogspot.com. Kemudian pada 13 Januari 2010, mereka membuka halaman bisnis di Facebook Page dengan nama yang sama dan 8 Agustus 2010, mereka memutuskan membeli domain nama marubunnytown.com. Nama MaruBunnyTown itu sendiri berasal dari ide kedua anaknya, Asyah dan Ashira, yang diambil dari nama kelinci Angora Loop peliharaan mereka yaitu maru. Sedangkan nama bunny town terinspirasi dari buku yang pernah dibaca oleh para buah hati Sary yang mengisahkan sebuah kota yang hanya didiami oleh kelinci.

Walau berasal dari hobi, Sary bukan terhindar dari suka duka dalam melakoni bisnis petshop rabbit speciality ini. Mulai dari perawatan dan pemeliharaan kelinci yang dilakukannya tanpa campur tangan orang lain hingga proses pengiriman yang riskan kematian hingga membuat Sary dan suami lebih peka lagi akan kelangsungan hidup kelinci-kelinci itu setelah terlepas dari pengasuhan mereka. Pengalaman tak menyenangkan juga dialami pasangan suami istri itu ketika melihat ada pihak yang hanya mengambil keuntungan (money oriented) dari hewan yang mereka pelihara tanpa memerdulikan kebutuhan dasar serta kebahagiaannya.

Berangkat dari pengalaman pahit itu, MaruBunnyTown mendaur ulang konsep awal yang semula hanya sebatas petshop rabbit speciality menjadi MaruBunnyTown-Pet Services dengan harapan dapat menjadi animal breeder yang lebih baik, knowledgeable animal lover dan mampu membagi pengetahuan kepada sesama animal lover yang lainnya. Dimulai pada Januari 2011, blog MaruBunnyTown yang semula berisi foto-foto kelinci yang dijual dan beberapa foto produk diubah menjadi blog yang berisi foto-foto pets yang mereka pelihara lengkap beserta dengan kegiatan serta artikel seputar perawatan dan pemeliharaan hewan. Menurut Sary, kekuatan personal menjadi kekuatan utama dalam meningkatkan personal branding MaruBunnyTown. Bersamaan dengan itu, minatnya terhadap pets semakin luas dan tak hanya terbatas pada kelinci saja.

Menanggapi kompetitor, Sary dan suami tak memperlakukan mereka sebagai pesaing bisnis melainkan teman yang saling melengkapi. Sebab menurutnya dari mereka-lah, Sary dan suami memeroleh ilmu mengenai perawatan hewan. Sarypun dengan senang hati akan merekomendasikan ke breeder lain yang telah dikenal dan memiliki reputasi baik bila hewan peliharaan yang diinginkan konsumen tak dimiliki oleh MaruBunnyTown.

Mengenai jangka pendek dan panjang dalam mengelola MaruBunnyTown, Sary beserta suami menyimpan sejumlah harapan yakni terus meningkatkan personal branding MaruBunnyTown.Com (jangka pendek) serta memiliki sebuah tempat yang lebih luas untuk mewujudkan konsep MaruBunnyTown sebagai pet services yang tak hanya sekedar menjadi animal breeder tapi juga mampu menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan dan perawatan hewan dengan harga terjangkau (jangka panjang). “Perjalanan MaruBunnyTown untuk kami, masih panjang. Saat ini masih berproses. Kami sudah puas dengan setiap tahapan yang kami lewati tapi tidak akan berhenti sampai impian kami tentang MaruBunnyTown tercapai,” jelasnya.

Harapan Sary akan MaruBunnyTown merupakan sikap optimisnya terhadap peluang bisnis yang dilakoninya ini di masa yang akan datang. Sary yakin bisnis itu akan bergerak positif seiring dengan energi positif yang selalu dikeluarkannya dalam mengelola MaruBunnyTown. “Saya yakin akan selalu bagus karena selalu ada animal lover dan segala sesuatu yang dilandasi cinta will last forever,” ucapnya kepada CE melalui surat elektronik beberapa waktu lalu.





Bosan Jadi Karyawan, Syam sukses WiraUsaha SPORTE


Helsusandra Syam  menuturkan bahwa kenekatan untuk meninggalkan status karyawannya didasari oleh panggilan jiwa. Ia merasa kurang mantap menapaki hidup dengan hanya menjadi karyawan.

“Jiwa saya tidak nyaman kalau kerja. Belum lagi kalau kejar target harus begadang, pulang sampai malam, padahal kita punya keluarga. Makanya kemudian saya nekat resign,” ceritanya.

Sebelum menjual pakaian renang ini, Syam bersama sang istri, Efa di tahun 2006 sudah menjual berbagai macam produk fashion, mulai dari blazer, selimut, hingga mukena lewat blog yang dibuatnya. Di sinilah Syam memulai perjuangannya menjadi seorang entrepreneur.

“Pernah ada yang minta lihat selimut, sepertinya dia mau beli banyak. Kita datangi kantornya, kita bawa banyak selimut naik bis, eh ternyata cuma beli 1. Kejadian begitu sudah sering kita alami,” kenang Efa.

Cerita berlanjut saat ada salah seorang teman Syam yang memproduksi pakaian renang muslim. Temannya ini merasa kesulitan untuk menjual produknya. Ia kemudian meminta Syam dan Efa untuk mempromosikan lewat blog yang telah Syam buat. Ternyata responnya sangat baik. “Waktu itu belum banyak yang buat pakaian renang ini,” tambah Syam.

Seiring berjalannya waktu permintaan akan pakaian renang muslim ini pun meningkat. Namun sang teman merasa tak sanggup lagi memproduksi sehingga Syam harus memutar otak untuk memenuhi keinginan pelanggannya.

“Kita pernah mengembalikan uang pelanggan. Gara-garanya mereka sudah kirim uang, ternyata kita tidak bisa memenuhi pesanannya,” ujar Efa.

Syam menyiasati kendala ini dengan mencari konveksi yang dapat dijadikan rekanan. Sistemnya, Syam dan Efa membuat desain, para customer yang ingin memesan dapat membayar uang muka 50% lebih dulu dan sisanya dibayar setelah pesanan diantar. Cara ini diyakini sebagai cara yang paling efektif untuk menekan budget.

Ternyata tidak mudah mencari rekanan yang dapat memenuhi permintaan Syam.  Ia dan istrinya perlu mondar-mandir, bertanya kanan-kiri, bahkan hingga mencari ke Bandung, Jawa Barat untuk mendapatkan konveksi yang bisa memenuhi kebutuhan produksinya.

Sudah tenang kah mereka setelah mendapat rekanan? Sama sekali belum. Kendala datang silih berganti saat menjalin rekanan dengan beberapa konveksi. Dari sulitnya mengontrol konsistensi kualitas, keterlambatan produksi, hingga  tertipu oleh salah satu rekanan.

“Kami diminta membayar di muka untuk keperluan membeli bahan, namun setelah sekian lama bahan tersebut tak kunjung dibeli. Akhirnya kami pasrah saja dan jadikan itu pelajaran,” kenang Efa.

Kendala-kendala tersebut membuat pasokan produk ke para customer menjadi tersendat. Akhirnya Syam pelan-pelan membeli alat jahit dan berproduksi sendiri. Syam pun sangat percaya diri walau ia tak paham betul bagaimana cara menjahit sebuah bahan hingga menjadi sebuah pakaian renang.

“Mensiasatinya gampang, pegang saja orang yang sudah lama kerja dikonveksi. Dari situ kita bisa produksi sendiri seperti sekarang ini,” jelas mantan presiden Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Budi Luhur ini.

Buahnya, saat ini Syam berhasil meluaskan pasar Sporte hingga mancanegara. Beberapa Negara seperti Kanada, Dubai, dan Malaysia telah menjadi pelanggan tetapnya. Penjualan Sporte sekarang sudah menembus angka 500 potong per hari.


Semuanya ia dapatkan tanpa membuka toko, 100% penjualan hasil dari online shop lewat website yang dibuat sendiri oleh Syam. Selain pakaian renang, Sporte pun menyediakan pakaian senam muslim.

Membesarkan Sporte seperti saat ini Syam bisa dibilang hanya bermodal nol rupiah. “Kami awalnya,  kan mengandalkan relasi saja. Setelah ada hasil baru kami putar uangnya,” jawab Syam.

Syam pun membuka kesempatan bagi masyarakat yang ingin mereguk untung dari bisnis ini. Ia memberikan 3 pilihan, menjadi distributor, agen, atau reseller bagi mereka yang ingin berjualan produk Sporte.

Untuk tingkat reseller Syam memberi target penjualan Rp 15 juta per bulan, jika tercapai Syam akan memberi diskon 40%. Mereka yang memilih menjadi agen diwajibkan menjual minimal Rp 7 juta rupiah untuk bisa mendapatkan diskon 30%. Sedangkan untuk reseller akan mendapatkan diskon 20% jika penjualannya mencapai Rp 3,5 juta.

Menurut Efa, semua pencapaian Sporte saat ini adalah berkat restu kedua orang tuanya. “Dulu saya tidak direstui orang tua kalau jualan. Tapi setelah saya memohon dan restu didapat, ternyata benar, usaha ini semakin besar,” ungkap alumni Institut Pertanian Bogor ini.

Ke depan, Syam dan Efa berharap agar Sporte dapat dikenal lebih luas di mata masyarakat. Lebih dari itu, harapan terbesar Syam, Sporte bisa menjadi pilihan utama kaum muslimah untuk melakukan aktifitas renang