KOMPAS.com - Sejak masih jejaka, Suno (58), warga  Desa Karang Kedawang,  Kecamatan Sooko, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur,  sudah akrab dengan  usaha persepatuan. Walau kala itu ”sekadar” sebagai  tukang sol sepatu.  Kini, ia menjadi salah satu pelaku usaha kecil dan  menengah dengan  produksi sampai 70 kodi sandal per hari.
Sebagai   tukang sol sepatu, Suno yang memulai membuka usaha sendiri pembuatan   sandal dengan merek Expo, enam tahun silam, telah malang melintang dari   satu tempat kerja pembuatan sepatu ke tempat pembuatan sepatu  lain.
”Awalnya   saya bekerja menjadi tukang sol sepatu di Surabaya, tepatnya di    Petemon, lalu pindah ke Rangkah, dan terakhir kerja di pabrik sepatu di   Sukomanunggal,” katanya. 
Suno adalah salah satu dari sekitar   1.300 pelaku usaha kecil dan menengah (UKM) di wilayah kerja Bank   Tabungan Pensiunan Nasional (BTPN) Cabang Mojokerto yang menjadi nasabah   sekaligus binaan bank ini.
Sejak tahun 2010 Suno mendapat   kucuran kredit Rp 30 juta untuk tambahan modal sekaligus pengembangan   usahanya. Setahun berikutnya, Suno kembali mendapat kucuran kredit Rp 60   juta. Pada 2012, dia  mendapat kredit lagi sebesar Rp 98 juta.
”Sebelum    kucuran kredit dari BTPN sampai tiga kali, modal awal untuk mulai   membuka usaha  sandal ini saya pinjam dari koperasi sebesar Rp 10 juta,”    kata Suno.
Setelah menjadi binaan BTPN dan mendapat pelatihan,   khususnya menyangkut manajemen keuangan dalam pengelolaan usaha kecil,   usaha sandal   Suno berkembang cepat.
 Rugi 
Suno   bercerita, pada  awal memulai usaha, dia sering  menyerahkan  pengerjaan  pembuatan sandal  kepada orang lain. ”Istilahnya, saya men-  sub-kan  pesanan itu kepada perajin sandal lain,” ujarnya. 
Namun,  hasilnya  justru tak menguntungkan, bahkan Suno menelan kerugian. ”Saya  sempat  tak mengerjakan sendiri pesanan sandal itu. Hasilnya, dalam   dua bulan  saya rugi sekitar Rp 3,5 juta.” 
Pengalaman pahit  itulah yang   memaksa Suno mengerjakan sendiri produk sandal Expo  miliknya. Seiring  berjalannya waktu, usahanya   tumbuh dan berkembang.  Pesanan dari  pedagang grosir di Pasar Turi, Surabaya, misalnya, terus  meningkat.
”Sekarang  saya sudah bisa membayar orang. Di sini ada  tujuh karyawan dari  tukang  sol,  tukang kap, dan seorang sekretaris,”  kata Suno.
Dibantu  anaknya yang masih lajang, Sugianto, untuk  memasarkan produknya, Suno  bangga  bisa memberikan lapangan pekerjaan  kepada orang lain.
”Rata-rata  setiap hari usaha saya ini bisa  memproduksi 30 sampai 50 kodi sandal.  Kalau pesanan sedang ramai, dalam  sehari bisa mencapai 70 kodi. Kalau  sudah begini,  saya juga  menyerahkan pengerjaan pembuatan sandal kepada  enam tukang sol, tukang  kap, dan tukang katokan di rumah. Mereka  mengerjakan pesanan itu di  rumah  masing-masing, saya mengontrol  hasilnya,” kata Suno.
Pedagang grosir 
Sekarang,   usaha skala kecil yang digeluti Suno dengan  produk  sandal untuk   dewasa dan anak-anak serta sandal perempuan  ini tak hanya dipasarkan di   Surabaya dan sekitarnya, tetapi juga  sudah sampai ke Tulungagung,  Jawa  Timur, hingga  Solo,  Jawa Tengah.
”Selain melayani  pedagang  bedak (eceran di pasar atau kaki lima), saya juga mendapat  pesanan dari  para pedagang grosir,” kata Suno.
Seminggu sekali  ditemani Sugianto,  salah satu anaknya, dengan  mobil boks,  Suno   membawa ribuan pasang  sandal menyusuri jalur tengah antara Jawa Timur  dan Jawa Tengah.
Sebagai  mitra usaha kecil dan menengah, BTPN  Mojokerto telah menyalurkan kredit  usaha kecil dan menengah sejak tahun  2009 hingga 2012. Kredit yang  disalurkan itu mencapai lebih dari Rp  110 miliar.
”Ada  30 sampai  40 debitor UKM sepatu dan sandal  yang menerima kucuran kredit kami,  salah satunya yang berhasil, ya,  usaha sandal milik Suno,” kata Mashudi,  Area Daya Spesialis BTPN Cabang  Mojokerto.
Suno mengakui,  sebelum mendapat pelatihan manajemen  keuangan dari BTPN, usahanya  sekadar berjalan saja. Susno yang tak  sempat menamatkan sekolah dasar  (SD) itu  sama sekali tak mempunyai  pengetahuan soal pengelolaan  keuangan usaha.
”Dulu, manajemennya campur aduk tidak karuan, tetapi sekarang pembukuan usaha ini sudah mulai rapi,” kata Suno.
Ketangguhan 
Usaha   sandal yang digeluti Suno adalah potret ketangguhan lapisan wong cilik   yang berhasil dalam mengembangkan usaha. Walau dalam skala kecil, dia   bisa memberikan sumber penghasilan dan penghidupan bagi orang lain.
”Saya   masih punya impian  untuk memiliki atau setidaknya membuka toko sandal   dan sepatu di Pasar Klewer, Solo. Di toko itu tidak hanya menjual  hasil  produksi saya, tetapi juga hasil produksi perajin lain,” tutur  Suno  tentang harapannya.
”Keinginan saya ke depan menciptakan lebih banyak lagi lapangan kerja untuk orang-orang kecil dan susah,” katanya.
Soal   keuntungan dari hasil usahanya itu,  Suno mengaku masih sangat   bergantung pada permintaan pasar, selain kelancaran pembayaran dari    grosir ataupun pedagang bedak. ”Setidaknya dalam setahun saya masih bisa   menikmati keuntungan bersih sekitar Rp 20 juta untuk ditabung. Itu   kalau semuanya berjalan lancar. Namun, sering  pembayarannya molor,   bahkan ada yang bayar 50  persen di muka, sisanya baru dibayar satu-dua   bulan,” tuturnya.
Suno, sang juragan sandal yang lahir di tanah   Majapahit itu, kini bisa bernapas lega walau setiap hari  harus  berpikir  keras untuk menjaga agar usahanya tetap berdenyut dalam  situasi politik  dan ekonomi yang kurang memihak kepada  wong cilik ini.  (Abdul Lathif)


Tidak ada komentar:
Posting Komentar