Rabu, 30 November 2011

Wajah Menentukan Peluang Karier

Saat melamar kerja, bukan hanya pengalaman dan latar belakang Anda yang menjadi pertimbangan perusahaan. Wajah dalam foto juga berperan penting menentukan nasib Anda. 

Kesimpulan itu berdasar penelitian yang dilakukan tim dari Ben-Gurion University of the Negev, Israel. Tim mengirimkan 5.312 resume kepada lebih dari 2.600 perusahaan yang membuka lowongan pekerjaan. 

Tim mengirim dua aplikasi dengan resume identik ke setiap perusahaan. Satu aplikasi dilengkapi foto, dan satu lainnya tanpa foto. Tim menempatkan sejumlah foto acak, mulai wanita berwajah cantik, pria tampan, hingga mereka dengan wajah biasa saja. 

Peneliti setidaknya mengumpulkan foto dari 300 mahasiswa. Mereka kemudian membentuk panel untuk mengategorikan pria dan wanita berdasar daya tariknya. Untuk menghilangkan bias rasial, para peneliti memilih individu yang tampaknya memiliki latar belakang etnis yang ambigu.

Hasilnya, 19,9 persen calon karyawan pria tampan yang mengirim foto mendapat panggilan wawancara. Sebanyak 13,7 pria dengan foto wajah biasa saja yang mendapat panggilan wawancara. Hanya 9,2 persen pria yang tidak mengirim foto yang mendapat panggilan. 

Berdasar analisis penelitian, pria berwajah menarik harus mengirim rata-rata lima resume dengan foto untuk mendapat satu panggilan wawancara. Sedangkan pria berwajah biasa saja harus mengirimkan 11 resume dengan foto untuk bisa mendapatkan panggilan serupa. 

Sementara pada wanita menunjukkan hasil sebaliknya. Sebanyak 16,6 persen wanita yang mengirim resume tanpa foto mendapat panggilan wawancara kerja. Ini menunjukkan tingkat respons tertinggi dari perusahaan yang membuka lowongan. 

Wanita yang mengirim resume dengan foto biasa saja, 13,6 persennya yang mendapat panggilan wawancara. Sedangnya wanita yang mengirimkan resume dengan foto menarik, hanya 12,8 persennya yang dipanggil untuk wawancara. 

Peneliti menemukan tingkat respons yang hampir sama untuk semua kategori wajah wanita.  Wanita yang mengirim resume dengan wajah menarik hanya memiliki kemungkinan 50 persen mendapatkan panggilan wawancara. Peluang itu sama dengan wanita yang mengirim resume dengan foto biasa saja atau tanpa foto. 

Peneliti juga mengambil kesimpulan bahwa respons perusahaan terhadap resume dipengaruhi jenis kelamin calon karyawan. Ketika pria mengirimkan resume dengan foto, perusahaan menganggapnya sebagai gambaran kepercayaan diri. Tapi ketika wanita mengirim resume dengan foto, cenderung dianggap 'menjilat' melalui penampilan.

“Penelitian kami justru menunjukan, kecantikan dan ketampanan menghalangi kesempatan mendapat pekerjaan. Pria dan wanita yang memenuhi kualifikasi dan berwajah menarik bisa jadi dicoret sejak awal proses seleksi," kata salah satu peneliti, seperti dikutip NY Times

Karyawan Muda Lebih Rentan Stres

Sebuah survei menemukan karyawan muda berusia di bawah 30 tahun lebih rentan sakit ketimbang karyawan yang lebih senior. Mereka juga berisiko lebih tinggi mengalami stres ketimbang rekan kerja paruh baya. 

Jajak pendapat terhadap 3.000 orang dewasa menemukan, tempat kerja adalah penyebab terbesar karyawan muda terserang penyakit. Sebanyak 72 persen karyawan berusia di bawah 30-an mengatakan mereka sakit setidaknya satu hari dalam sebulah, dibandingkan 46 persen karyawan berusia diatas 55 tahun.

Karyawan muda, berdasar jajak pendapat lebih mungkin mengalami pilek, alergi dan alergi makanan. Riset yang sama juga menunjukkan seperempat karyawan muda cenderung mengambil cuti akibat stres daripada satu dari enam karyawan yang lebih senior. Di saat bersamaan, 86 persen karyawan umur 18-29 tahun merasa stres di tempat kerja dibandingkan dengan 66 persen karyawan yang lebih tua. 

Dampak stres lainnya termasuk gejala iritasi, sakit kepala, kelelahan dan insomnia. Survei yang dilakukan produsen multivitamin probiotik Multibionta menekankan pentingnya 'kesadaran akan kesehatan' bagi pekerja di bawah 30 tahun. 

Hal menarik lain dalam studi adalah, para pekerja muda lebih cenderung makan makanan sampah secara teratur dan merupakan perokok berat. Hanya separuh dari karyawan muda makan lima porsi sayur dan buah ketimbang pekerja di atas 55 tahun. Mereka juga cenderung minum alkohol lebih banyak, bekerja lebih lama, kurang tidur dan makan makanan tak sehat ketimbang karyawan dengan usia dua kali lipat usia mereka.

Peter Morton, Manajer Penjualan Multibionta menyatakan, "Dunia kerja saat ini serba cepat, menimbulkan gaya hidup tak sehat pada generasi muda. Sedangkan generasi yang lebih dewasa menyadari pentingnya menjaga kesehatan dan menjalani gaya hidup seimbang." 

Profesor Glenn Gibson, pakar probiotik dari Universitas Reading mengatakan, hal yang wajar mengalami stres dalam pekerjaan atau kehidupan sehari-hari. "Penting untuk mempertimbangkan dampak kedua hal ini terhadap kesehatan dan kesejahteraan Anda," ujarnya seperti dikutip Huffington Post

Sabtu, 12 November 2011

Tingkat Kecerdasan (IQ) ternyata bisa Berfluktuasi

Selama ini, banyak orang menganggap level IQ (intelligence quotient), bersifat tetap. Namun, faktanya tak demikian. Ternyata, level IQ secara signifikan berfluktuasi di masa remaja. 

Artinya, level IQ seseorang bisa naik dan bisa turun. Hal ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan tim dari Wellcome Trust Centre for Neuroimaging di Inggris. Memang, sampai saat ini level IQ masih jadi patokan.

Jika hasil tes menunjukkan skor yang tinggi, seorang anak dianggap jenius. Sementara, jika skor IQ rendah, seorang anak dianggap tak terlalu pintar. Padahal, menurut penelitian, fakta soal IQ lebih rumit dari hal itu. 

Penelitian ini melibatkan 33 anak yang berusia 12 hingga 16 tahun. Tim melakukan tes IQ pada mereka. Empat tahun kemudian, mereka menjalani tes yang sama dan hasil tes menunjukkan satu dari lima anak mengalami fluktuasi dari satu kategori IQ, seperti kepintaran rata-rata. Beberapa anak, menunjukkan peningkatan IQ sebesar 21 poin dan ada juga yang turun 18 poin. 

"Perubahan sebesar 20 poin merupakan perbedaan besar. Jika level IQ seseorang yang awalnya 110 menjadi 130, maka ia berubah dari kategori rata-rata menjadi superior. Lalu jika poin awal 104 menjadi 84, maka berubah dari kategori normal menjadi rendah," kata Profesor Cathy Price, salah satu peneliti, dikutip dari cbsnews.com.

Hasil pemindaian otak pada anak-anak menunjukkan bahwa perubahan IQ juga bisa dilihat dari perubahan struktural dalam otak. "Perubahan dalam level IQ adalah sesuatu yang nyata," kata Dr. Sue Ramsden, asisten peneliti.

Lalu, apa pemicu naik dan turunnya level IQ? Menurut peneliti, dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk mengerahuinya. Tetapi hal ini bisa jadi indikasi, bahwa hasil tes IQ pada beberapa orang bisa jadi karena ia terlalu cepat tumbuh atau mungkin terlambat. 

Jadi, orangtua tak perlu terlalu cepat menyerah pada anak yang hasil IQnya rendah. Sangat penting untuk menanamkan pada seorang anak, kalau ia adalah seorang yang pintar, demi perkembangan psikologisnya. 

"Kita (sebagai psikolog) harus berhati-hati dalam menulis 'buruk' terutama pada hasil tes IQ tahap awal. Pada kenyataannya, IQ mereka dapat meningkat secara signifikan dalam beberapa tahun," kata Price.