Jumat, 29 Juni 2012

Perjalanan Sukses Kuli Bangunan Mengembangkan AUTOFIT


Fitriyanto hanya lulusan SMA. Tapi, berkat tekad yang diiringi dengan usaha keras, ia sukses menjadi produsen perawatan mobil merek Autofit. Pemilik PT Vitechindo Perkasa ini mampu membikin produk yang bisa bersaing dengan merek terkenal.

Hidup ini bagi Fitriyanto benar-benar sebuah perjuangan. Ia lahir dari keluarga sederhana, kalau tidak disebut miskin. Ayahnya hanya seorang tukang kayu. Tapi, dengan tekad yang bulat dan usaha yang kuat, Fitriyanto mampu memanfaatkan peluang usaha menjadi seorang pengusaha produk perawatan mobil yang terbilang sukses. 



Ayahnya yang seorang tukang kayu tentu tak mampu menyekolahkannya tinggi-tinggi. Maka, ketika lulus SMA, pada tahun 1992, Fitriyanto langsung hijrah ke Jakarta. Anak bungsu dari lima bersaudara ini menjadi kuli bangunan. 

Enam bulan menjadi kuli bangunan, Fitriyanto pindah menjadi tukang bantu-bantu di rumah Rachmat Gobel, kini Presiden Komisaris PT Panasonic Manufacturing Indonesia. Di rumah itulah ia ketemu dengan salah satu manajer Panasonic. “Saya ditawari kerja,” ujarnya. Ia lalu menjadi pegawai di Panasonic, divisi komponen, yang memproduksi semua speaker. 

Di waktu senggang, Fitriyanto selalu meluangkan waktu untuk membaca buku kisah orang sukses. “Saya menghimpun tekad untuk menjadi orang sukses. Dari buku yang saya baca, orang sukses kebanyakan mengawali karier sebagai tenaga pemasaran (marketing),” kata suami Lihardiana ini. 

Fitriyanto lantas hengkang dari Panasonic dan pada tahun 1995, ia memanfaatkan peluang usaha sebagai tenaga pemasar di produsen minuman. “Saya mendapat upah Rp 75.000 per bulan, jauh lebih kecil ketimbang jadi kuli bangunan. Ketika jadi kuli, upah saya Rp 60.000 per minggu,” kata Fitriyanto yang akhirnya keluar setelah tiga bulan bekerja. 

Lantaran bertekad jadi tenaga pemasar, Fitriyanto kembali masuk ke perusahaan cokelat selama setahun, sebelum akhirnya pindah ke PT Prima Karya Gandareksa, perusahaan kimia. Ia tetap memanfaatkan peluang usaha sebagai tenaga pemasar, tetapi dengan gaji Rp 5 juta per bulan. “Saya banyak belajar tentang produk perawatan mobil di sini,” katanya. Lantaran kinerjanya bagus, perusahaan menugaskannya ke Bali. Tapi, ia memilih mundur lantaran tak ingin jauh dari keluarga. Selama setahun, ia beberapa kali pindah kerja di perusahaan kimia. 

Fitriyanto akhirnya masuk ke perusahaan produk perawatan mobil dari Jerman. “Di perusahaan ini, saya suka memperhatikan para peracik produk. Saya pelajari, bahan apa saja yang diramu menjadi produk perawatan,” katanya.

Setiap Sabtu dan Minggu, dia pergi ke toko kimia untuk mempelajari bahan-bahan kimia yang bisa diramu menjadi produk perawatan mobil. Dia bertahan selama lima tahun di perusahaan itu sebelum akhirnya mengundurkan diri dengan posisi gaji terakhir Rp 24 juta per bulan.

Pinjam uang ke bank

Pengalaman di perusahaan pembuatan produk perawatan mobil membuat Fitriyanto percaya diri untuk memulai peluang usaha sendiri. “Sebagai tenaga pemasar, saya sudah memegang banyak pelanggan. Saya juga sudah bisa membuat peluang usaha produk sendiri,” katanya. 

Uniknya, untuk meracik Autofit, Fitriyanto sama sekali tidak memperdalam ilmu kimia secara formal. “Semua saya pelajari secara autodidak,” kata pria kelahiran Purbalingga, 10 November 1972 ini. 

Dengan memanfaatkan bengkel sepeda motor di Cikeas, Bogor, yang didirikan saat masih bekerja, pada 2007, Fitriyanto memulai usaha produk perawatan mobil. “Saat itu, cuma ada satu montir dan tempatnya sangat sederhana,” kenangnya. Di bengkel itu, dia meracik bahan setelah memenangi tender pengadaan produk perawatan mobil dari salah satu bengkel mobil besar. 

Lantaran tak punya modal, Fitriyanto mencari pinjaman bank sebesar Rp 25 juta. “Karena tidak ada agunan, modalnya hanya kepercayaan. Bank itu menjadi pelanggan di bengkel kami,” katanya.

Dari modal Rp 25 juta, ia bisa menghasilkan omzet Rp 80 juta. Tiga tahun berjalan, usahanya semakin besar. Dengan pinjaman bank yang lebih besar, dia membuka pabrik di daerah Cipayung, Jakarta Timur, dan mendirikan PT Vitechindo Perkasa. 

Saat ini, Fitriyanto memiliki 35 karyawan dan sejak awal bulan Juni 2012, dia membuka lembaga kursus bahasa Inggris dan komputer. “Saya sendiri tak bisa mengoperasikan komputer,” katanya sambil tertawa. Ia juga membuka sekolah taman kanak-kanak sembari menjalankan usaha bengkelnya.

PT Vitechindo Perkasa, perusahaan milik Fitriyanto, berhasil memasok produknya ke bengkel resmi milik agen tunggal pemegang merek (ATPM) besar, seperti Toyota, Daihatsu, Isuzu, Honda, Nissan, Hyundai, Suzuki, Kia, dan Mazda. Bisnis ini menghasilkan omzet Rp 8 miliar per tahun.

Label merek produk buatan Fitriyanto adalah Autofit. Saat ini, ada 20 produk peluang usaha perawatan mobil merek Autofit yang sudah diproduksi, antara lain produk sampo, semir ban, pelumas, pembersih evaporator, injection purge, cairan pembersih bahan bakar, pembersih blok mesin, pembersih karburator, dan pembersih ruang bakar mesin kendaraan.


Selasa, 26 Juni 2012

Langkah GO-JEK Mengerjakan Bisnis Ojek Secara Profesional


Gara-gara macet,   Nadime Makarim  sering menggunakan jasa ojek. Dan gara-gara kerap naik ojek, dia kini menjadi CEO Go-Jek, sebuah perusahaan yang menggarap bisnis ojek secara profesional. 
  
"Saya sadar, waktu sangatlah berharga. Kalau menghabiskan jam demi jam hanya untuk merasakan kemacetan di Jakarta, tentu itu sangat tidak efisien. Sejak saat itu saya realize (sadar) bahwa ojek itu sangat berharga bagi warga Jakarta," terangnya 
Karena hampir setiap hari bersentuhan dengan jasa ojek, Nadime tergelitik untuk memperbesar pasar ojek. 
  
Awalnya, dia mempelajari kebiasaan para tukang ojek. Setiap menggunakan jasa ojek, dia mengajak ngobrol si tukang ojek. Misalnya, ditanya berapa penumpang yang diangkut setiap hari. "Si tukang ojek mengatakan, sehari mungkin hanya lima hingga enam penumpang yang diangkut," ujarnya.
  
Dalam hitungan Nadime, itu termasuk rugi. Sebab, itu tidak sebanding dengan total jam kerja mereka yang rata-rata 14 jam sehari. "Mestinya bisa lebih dimaksimalkan lagi," ujar pria lulusan Brown University, New York, Amerika Serikat (AS), itu. 

Obrolan itu tak hanya dia lakukan dengan satu orang tukang ojek, namun puluhan. Ternyata, kesimpulan yang didapat Nadime sama. Yakni, para tukang ojek yang dia temui rata-rata tidak sebanding antara jumlah jam bekerja dan perolehan penumpang dalam sehari. "Hasil pengamatan saya, 75 persen dari sisa waktu mereka (tukang ojek) hanya dihabiskan untuk nongkrong dan ngantre di pangkalan," papar putra pasangan Nono Anwar Makarim, 72, dan Atika Makarim, 66, yang berdomisili di Dharmawangsa, Jakarta Selatan, itu. 
   
Dari situlah Nadime berpikir untuk membesarkan pasar para tukang ojek. Konsep yang dia terapkan adalah tukang ojek tak hanya berpeluang mendapat penumpang dari pangkalan. Tetapi, pria 27 tahun ini memiliki ide untuk merekrut para tukang ojek masuk ke Go-Jek, perusahaan yang dia bikin. 

Selanjutnya, dia membuat sistem call center. Lewat call center itulah pemesanan ojek tidak dibatasi ruang dan waktu. Konsumen bisa menghubungi si tukang ojek dari Go-Jek lewat berbagai media. "Konsumen bisa memesan ojek lewat ponsel, BlackBerry Messenger, hingga Yahoo Messenger," tuturnya. 

Ketika mendirikan Go-Jek, Nadime dibantu dua sahabatnya, yakni Bryan dan Micky. Tiga orang sekawan tersebut mengumpulkan uang pribadinya untuk membentuk call center. Sayang, jika ditanya mengenai starting capital atau modal awal, Nadime tidak bersedia menyebutkan besaran nominalnya. 

"Yang paling penting bagi saya adalah kekompakan kami bertiga untuk saling melengkapi. Misalnya, Bryan sangat ahli dalam hal finance. Dia pun memberikan masukan mengenai keuangan. Sedangkan Micky sangat jago dalam hal desain web," tutur Nadime yang juga hobi membaca buku-buku nonfiksi itu. Dia melanjutkan, melalui kombinasi tersebut, pada pertengahan 2010, dikerjakanlah proyek pendirian Go-Jek. Barulah pada Februari 2011 Go-Jek resmi beroperasi.

Langkah awal yang dilakukan Nadime ialah menanamkan kepercayaan kepada para konsumen atau calon konsumen terhadap para tukang ojeknya. Nadime sangat memercayai teori bahwa persepsi branding harus dibangun dengan sempurna pada suatu bisnis. "Brand perseption itu sangat berdampak besar. Apalagi untuk suatu bisnis yang masih awal dibangun. Upaya kami membangun itu adalah lewat pelatihan SDM (sumber daya manusia) hingga memberikan uniform atau seragam," ungkapnya. 

Nadime menuturkan, dari upaya branding secara profesional itu, secara otomatis memunculkan trust dari para pekerjanya. Bahkan, karena memakai seragam, sikap tukang ojek juga berubah dengan sendirinya. Si tukang ojek juga lebih lihai men-handling pelanggan. Alhasil, order dari konsumen juga berkembang. Order tidak hanya datang dari tempat mangkal, tetapi berkembang seperti menjadi jasa kurir. 

"Ada orang yang ketinggalan charger ponselnya saja juga menggunakan jasa kami. Kami juga mengantarkan makanan, undangan, dokumen penting, hingga konsep belanja. Jadi, sekarang tukang ojek Go-Jek membelanjakan apa pun yang dibutuhkan konsumen," terangnya.  

Nadime juga berhasil mengubah mindset dari sisi kostumer. Yakni, tukang ojek bisa menjadi office boy semua orang. Tidak hanya company atau korporasi saja yang memiliki office boy. Tapi, lewat Go-Jek, segmen rumah tangga juga bisa dilayani dan di mana pun saat dibutuhkan. Tentunya hal itu memang didukung oleh ketersediaaan driver yang dimiliki Go-Jek. Jumlah driver Go-Jek saat ini 200 orang dan terdiri atas 80 pangkalan di Jakarta. 

"Kami mengunggulkan servis cepat, rata-rata dalam 15 menit sudah sampai tujuan," ujarnya. Hingga akhir tahun ini, pihaknya menargetkan penambahan jumlah tukang ojek Go-Jek menjadi 400. Nadime pun memproyeksi untuk lebih ekspansif sehingga ojeknya berjumlah ribuan pada beberapa tahun ke depan. Saat ini Go-Jek memang masih fokus di daerah Jakarta. "Kami fokus dulu. Ke depan ingin memperlebar sayap usaha ke Jatim, khususnya Surabaya, mengingat jumlah permintaan yang besar," terangnya. 

Dari segi konsumen, Go-Jek juga agresif untuk menyasar pangsa pasar. Tidak hanya segmen rumah tangga, namun juga korporasi. "Justru kontribusi terbesar kami datang dari market korporasi. Mulai ibu-ibu penjual lumpia hingga perusahaan nasional dan multinasional," paparnya. 

Dia melanjutkan, hingga semester pertama 2011, Go-Jek memiliki 25 pelanggan korporasi dan 550 konsumen yang existing. Jumlah konsumen yang loyal tersebut naik 120 persen dibandingkan triwulan pertama 2011. Ordernya pun setiap hari mencapai 50?60 dengan minimal pembayaran Rp 15 ribu. 

Go-Jek juga tersistem dengan baik dalam hal pembayarannya. Yakni, dipatok tarif flat sesuai dengan jarak yang ditempuh. "Kami juga transparan untuk harga per kilometernya. Meterannya ada di call center. Supaya transparan, kami kirim satu SMS ke driver dan satu SMS ke konsumen. Tapi, tetap membutuhkan kejujuran dari dua pihak tersebut," ujarnya.

Nadime mengatakan, tidak ada batasan yang ketat untuk menjadi tukang ojek di Go-Jek. Modalnya  hanya sepeda motor. Sedangkan perlengkapan seperti helm dan seragam difasilitasi Go-Jek. 

Menurut dia, saat ini sudah ada daftar antrean  panjang yang ingin mendaftar ke Go-Jek. "Tapi, kami mengutamakan yang sudah berkeluarga. Sebab, dari segi pekerjaan, mereka yang lebih ulet karena memiliki tanggung jawab untuk menghidupi keluarganya. Dan lebih aman jika membawakan pesanan customer," ungkapnya. 

Go-Jek menerapkan skema bagi hasil. Yakni, tukang ojek bakal mendapat mayoritas, yakni 65 persen, sedangkan Go-Jek 35 persen. Itu diterapkan saat customer memesan dari Go-Jek. "Jadi, Go-Jek lebih kepada tambahan penghasilan bagi tukang ojek," tutur Nadime yang menjadi CEO Go-Jek itu.

Dari keunikan ide yang dimiliki Go-Jek itu, tak mengherankan jika ada beberapa investor yang tertarik menanamkan modal untuk membantu membesarkan sayap bisnis Go-Jek. Salah satu di antaranya, Chairman ATI Enterprises Inc Arthur E. Benjamin. Pebisnis asal Amerika itu sangat tertarik dengan Go-Jek dan siap membantu ekspansi bisnis Go-Jek. 

Sayangnya, dia tak menyebutkan nilai investasinya. "Saya membaca model bisnis Go-Jek sangat potensial ke depannya. Kami akan terus memantau perkembangan Go-Jek. Kalau untuk investasi, tanya ke pihak Go-Jek langsung saja," terang Arthur ketika ditemui di Bali pada Minggu lalu (24/7). Pada kompetisi Global Entrepreneurship Program Indonesia (GEPI), Go-Jek memenangi kategori non-tech.




Sabtu, 02 Juni 2012

Menjadi KAYA Berkat Sikap Pantang Menyerah, Tekun, dan Ulet

contoh kisah cerita perjalanan pengusaha sukses dan kaya, berkat sikap pantang menyerah, tekun, dan ulet dalam bisnis usaha
Seorang remaja bernama Ronny Lukito yang urung melanjutkan pendidikannya di bangku kuliah, karena keterbatasan biaya. Berhasil mengubah kondisi pahit yang dihadapinya, menjadi peluang emas yang bisa membuatnya meraih kesuksesan seperti sekarang ini.

Hidup ditengah keluarga yang pas-pasan, tidak membuat Ronny menyerah pada keadaan. Orang tuanya yang memiliki toko kecil khusus menjual tas, membuat Ronny terbiasa melihat secara langsung proses produksi sebuah tas. Bahkan Ia beserta saudaranya sering terjun langsung membantu orangtuanya dalam menjalankan bisnis tersebut. Dari mulai proses packing tas, merapikan tas-tas yang di display, serta menjadi kasir ketika ada pembeli yang membayar. Pengalaman itulah yang menjadi langkah awal Ronny untuk membuka Peluang bisnis tas, mengikuti jejak kedua orang tuanya.

Lahir pada 15 Januari 1962, Ronny adalah anak ketiga dari enam bersaudara. Ia satu-satunya anak laki-laki dalam keluarga pasangan Lukman Lukito – Kumiasih. Ronny berdarah campuran Buton, Sumatera dan Jakarta itu mempunyai orangtua yang menyambung hidup dengan cara berjualan tas.

Setelah lulus STM pada tahun 1979, Ronny memutuskan untuk mencari pekerjaan. Namun belum sempat melamar pekerjaan, niatnya berubah  setelah Ia mendapatkan nasehat dari salah seorang kerabat. Ia disarankan untuk bekerja di toko tas milik orang tuanya saja, karena Ronny merupakan anak lelaki satu-satunya yang seharusnya bisa meneruskan usaha keluarga. Semenjak itulah Ronny belajar tentang cara memproduksi tas, termasuk membuat desain dan pola tas, sampai proses penjahitan tas.

Jiwa entrepreneur yang dimilikinya sejak duduk dibangku sekolah, membuat lelaki kelahiran Bandung ini mudah menyerap ilmu dari ayahnya. Tak lama setelah bekerja di toko milik sang ayah, Ia pun memulai peluang bisnis pembuatan tas sendiri. 

pada tahun 1979 itu Dengan modal kurang dari satu juta rupiah, Ronny membeli dua mesin jahit, peralatan jahit, dan sedikit bahan baku pembuatan tas. Dibantu dengan satu orang pegawai bernama Mang Uwon, Ronny memproduksi tas . Ternyata produk peluang bisnis tas buatan Ronny sukses diterima pasar, usaha yang dirintis dari nol tersebut mulai menunjukan peningkatan yang sangat pesat. Tingginya permintaan pasar membuat omset bisnis tas tersebut selalu meningkat, hingga Ronny berhasil mempekerjakan 100 karyawan.

sekitar tahun 83-84 Ronny berkeinginan memasukkan produk ke Matahari, saat di awal awal mengajukan sebagai pemasok itu, Ronny ditolak terus oleh bagian pembelian, baru sampai mengajukan ke 13, permohonan ronny memasukkan Produk tasnya diterima, saat itu pun, nilai tas yang dijual tidak sampai 300 ribu


Ia belajar mendengar dan membaca produk apa yang diminati oleh pelanggan Matahari. Ia bertekad menggenjot pertumbuhan bisnisnya. Awalnya omzet totalnya di Matahari Rp 300 ribu sedangkan kompetitornya sudah jutaan rupiah. Awalnya pasar yang digarap adalah Bandung dan sekitarnya dulu.

pada tahun 1984, akhirnya Ronny membeli rumah tambahan seluas 600m2 untuk menambah ruang produksinya. 2 tahun kemudian tahun 1986 Ronny membeli tanah seluas 6000m2 untuk menambah lagi ruang produksi 

Ronny terjun sendiri ke daerah-daerah untuk mencari mitra-mitra pengecer baru guna membuka pasar baru. Ia rajin keliling daerah. Dia membuang kemalasan dan sadar bahwa masa depannya ditentukan pada momen itu. Dia berangkat ke kota-kota lain untuk mempromosikan dan membangun jaringan pemasaran.

Walaupun masih dalam tahap awal memulai peluang usaha, ia merasa tidak begitu menguasai pengetahuan dunia usaha dan pemasaran sehingga ia putuskan untuk menggunakan jasa seorang konsultan. Ronny banyak belajar secara privat mengenai pengetahuan manajemen dan juga mengambil kursus manajemen keuangan. Bila ada seminar atau kursus yang menurutnya bagus, Ronny juga berusaha untuk menghadirinya. Membaca buku-buku yang relevan untuk pengembangan diri juga terus dilakukan.

Setelah menikah tahun 1986, dia merekrut marketing professional. Dengan perjuangan yang gigih dan tak mengenal lelah, dia mengetahui peluang pasar karena dia tahu persis luar dalam bisnis tas ini termasuk hal-hal di lapangan, dia tahu kendala apa saja dan lika liku di lapangan. Akhirnya cita-cita Ronny untuk menjadi pemain terbesar di dalam bisnis tas tercapai.

Mulai dari Matahari, Ramayana, Gunung Agung, Gramedia, dan dept. store besar lainnya menjual produk Ronny seperti Eiger, Export atau Bodypack. Kalangan praktisi bisnis tas pasti tahu bahwa kini B&B Inc. milik Ronny merupakan salah satu perusahaan nasional terbesar.

Tak berhenti di situ, sekarang perusahaan Ronny juga sudah memproduksi jenis lain seperti dompet, sarung handphone, dan berbagai jenis produk lain. Salah satu kebiasaan Ronny yang baik adalah kemauannya untuk belajar dan mengembangkan diri. Ia tak merasa malu atau gengsi untuk bertanya bila memang ia tidak tahu. Dengan cara inilah dia bisa berkembang dan sukses sampai sekarang.


Ketekunan dan kerja kerasnya dalam menjalankan usaha, mengantarkan lelaki lulusan STM ini menjadi pengusaha sukses yang luar biasa. Terbukti bukan hanya berhasil membawa tas merek exsport hingga mancanegara, namun kini dibawah naungan B&B Inc. Ronny berhasil membawahi empat anak perusahaan besar antara lain PT. Eksonindo Multi Product Industry (EMPI), PT. Eigerindo MPI, PT. EMPI Senajaya dan CV Persada Abadi. Sederet merek tas ternekal pun, menjadi bukti nyata keberhasilan Ronny Lukito dalam menguasai pasar tas baik lokal maupun internasional. Membidik berbagai segmen pasar, Ronny pun mengembangkan sayapnya dengan memasarkan merek Eiger, Exsport, Neosack, Bodypack, Nordwand, Morphosa, World Series, Extrem, Vertic, Domus Danica serta Broklyn.

Mulai dari Matahari, Ramayana, Gunung Agung, Gramedia, dan dept. store besar lainnya menjual produk Ronny seperti Eiger, Export atau Bodypack. Kalangan praktisi bisnis tas pasti tahu bahwa kini B&B Inc. milik Ronny merupakan salah satu perusahaan nasional terbesar.

Tak berhenti di situ, sekarang perusahaan Ronny juga sudah memproduksi jenis lain seperti dompet, sarung handphone, dan berbagai jenis produk lain. Salah satu kebiasaan Ronny yang baik adalah kemauannya untuk belajar dan mengembangkan diri. Ia tak merasa malu atau gengsi untuk bertanya bila memang ia tidak tahu. Dengan cara inilah dia bisa berkembang dan sukses sampai sekarang.

demikian satu contoh kisah cerita perjalanan pengusaha sukses, berkat sikap pantang menyerah, tekun, dan ulet dalam bisnis usaha, semoga menjadi inspirasi...
















Jumat, 01 Juni 2012

Contoh Produk Indonesia yang Terkenal di Luar Negeri, POLYGON laku dijual Mahal

Perusahaan Sepeda asal Sidoarjo, Jawa Timur, yang telah menjadi merek sepeda nasional ini cukup menguasai pasar. Polygon mampu bersaing di tengah gempuran sepeda-sepeda merek dunia yang membanjiri negeri ini.  pangsa pasar Polygon saat ini mencapai 60% di kategori sepeda gaya hidup (life-style bike).



Keberhasilan Polygon menembus pasar dalam dan luar negeri antara lain karena konsistensinya dalam produksi. Sejak awal Polygon memang dibuat sebagai produk gaya hidup, bukan sekadar alat transportasi. Hal ini juga dinyatakan Soejanto Widjaja, pendiri dan pemilik Insera Sena. “Memang itulah tujuan Polygon dibuat sejak awal kami mendirikannya tahun 1989,” ujarnya. Maka, dari awal pula, Polygon tidak sembarangan menentukan desain, varian, kualitas ataupun harga. “Produk kami mampu bersaing dengan produk-produk dari luar negeri,” ujar Ronny Liyanto, Direktur Dispoly Indonesia , anak perusahaan Insera yang khusus memasarkan Polygon, yang harganya pun bersaing mulai dari Rp 1,2 juta hingga Rp 80 juta.

Keputusan menjadi produk gaya hidup sekaligus merupakan diferensiasinya dari pemain lokal lain yang sudah ada di Indonesia. “Itulah ceruk pasar yang belum banyak digarap saat itu,” demikian alasan Ronny. Soejanto menambahkan, jika diposisikan sebagai alat transportasi, sepeda Polygon akan kalah bersaing dengan moda transportasi lain seperti mobil dan sepeda motor, sehingga sepeda hanya akan selalu menjadi pilihan terakhir. Namun sebaliknya, karena diposisikan sebagai produk gaya hidup, Polygon bisa naik kelas menjadi produk first class.



Kebetulan pula pada saat Polygon dibuat, tren kesadaran akan transportasi ramah lingkungan sudah mulai menyeruak. Ini benar-benar menguntungkan sehingga Insera Sena tidak telalu sulit membuat desain sepeda yang mengusung gaya hidup. Apalagi, sejak berdiri, Insera sudah memproduksi sejumlah sepeda kelas dunia seperti Kuwahara, Mustang, Avanti, Kona, Marine dan Scott dengan skema original equipment manufacturer (OEM). Sepeda-sepeda itu kemudian diekspor ke negara asalnya. Sebanyak 99% produksi Insera diekspor, 60% di antaranya ke negara-negara Eropa seperti Inggris dan Jerman.



Bersamaan dengan itu, Insera Sena belajar membuat sepeda berkualitas kelas dunia sambil menunggu pasar Indonesia siap. Nah, memasuki 1997, Insera mulai melirik dan menggarap pasar dalam negeri dengan membuat merek sendiri bernama Polygon. Keputusan Insera mulai menggarap pasar dalam negeri juga dipengaruhi prediksi menggeliatnya ekonomi Cina 10 tahun ke depan.



“Karena Cina akan berkembang pesat, kami harus prepare dengan punya market sendiri dan brand sendiri. Waktu itu ditetapkan Indonesia, Malaysia, Singapura, Australia sebagai pasar regional dan Polygon dipilih sebagai mereknya. Dan sejak saat itu, step by step, kami membangun pasar dengan brand sendiri, dimulai dari Indonesia,” tutur Ronny yang juga Ketua IMA DKI Jakarta.



Memang bukanlah hal mudah memasarkan sepeda di tengah kondisi krisis ekonomi pada 1997. Apalagi, bicara soal gaya hidup di tengah kondisi kusut. Namun, tim Polygon tak mau menyerah. Hampir seluruh pelosok negeri disambangi untuk mencari mitra yang mau jadi dealer penjualan Polygon. Banyak yang menolak, tetapi ada juga yang mau diajak kerja sama. “Bayangkan waktu itu tahun 1999, sepeda Polygon dibanderol Rp 500 ribu per unit. Sementara sepeda yang sudah ada paling mahal Rp 200 ribu,” ungkap Ronny menceritakan tantangan yang dihadapi kala itu.




Rodalink Surabaya
Sejalan dengan upaya membangun merek sendiri, yaitu Polygon, Insera Sena juga membangun jaringan dealer sendiri, bernama Rodalink, di bawah CV Roda Lintas Khatulistiwa — anak perusahaan Insera. Rodalink hadir dengan mengusung konsep baru toko sepeda yang lebih modern. Jaringan gerai ini mulai dibangun di Surabaya, lalu Jakarta, Balikpapan hingga Singapura yang mulai dirambah pada 1998. Sekarang ada 48 gerai, termasuk lima gerai di Malasyia dan lima gerai lagi di Singapura. Di Rodalink juga dijual sepeda dan aksesori merek ternama dunia seperti Dahon, Marine dan Kona. “Rodalink itu nama store band kami, sedangkan Polygon brand produk kami,” ungkap Ronny yang bergabung dengan Polygon sejak 1999.



Untuk menjalankan misinya memproduksi sepeda sebagai gaya hidup, selain membuat pernik-pernik dan aksesori bersepeda, sejak 1999 Polygon rajin menggelar event bersepeda, serta pameran di mal dan Pekan Raja Jakarta (PRJ). Ronny mengenang, saat itu tak mudah menggelar pameran sepeda di mal karena dipandang sebelah mata. Tak mengherankan, banyak penolakan dari pengelola mal atau pameran. Mal pertama yang menerima Polygon berpameran adalah Mal Galaxy di Surabaya dan Mal Taman Anggrek di Jakarta. Hal yang sama juga dilakukan di Singapura dan Malaysia yang dirambah Insera sejak 2002.



Memang hingga saat ini, Polygon sangat rajin menggelar dan mensponsori event. Dalam setahun tak kurang dari 400 kegiatan. Santoso Lie, Head of Public Relations and Communication Dispoly Indonesia, mengatakan bahwa untuk mengelola event sebanyak itu, pihaknya sering menggandeng sejumlah komunitas dan polygoners (komunitas Polygon) yang jumlahnya ribuan di berbagai kota. Menggandeng komunitas menjadi salah satu nilai lebih Polygon dalam menggarap pelanggan, dan bisa diperbantukan dalam mengelola event sebanyak itu. “Kami menyeleksi ribuan proposal yang masuk yang mendukung visi dan misi Polygon,” katanya.



Selain menggarap event, Polygon pun rajin berpromosi lewat jalur above the line (ATL) dan below the line (BTL) serta media sosial yang memiliki tim sendiri. “Semua kami bidik untuk melakukan branding Polygon,” ungkap Santoso. Promo BTL dibagi dua: sosial (CSR) dan nonsosial. Contoh untuk sosial adalah memberikan dukungan dalam berbagai bentuk bagi komunitas, panti asuhan, pemerintah, dll. “Bentuk bantuannya bisa berupa pemberian atau pinjaman sepeda, tempat parkir atau gantungan sepeda. Bahkan, di berbagai hotel atau restoran hal tersebut juga sering kami lakukan,” kata Didik Suharsono, Head Promotion East Dispoly Indonesia, menambahkan.



Polygon juga rajin menggelar kompetisi. Yang akan terus dilakukan adalah kompetisi membuat desain sepeda yang penyelenggarannya bekerja sama dengan Institut Teknologi Bandung. Untuk menjaring peserta dalam kompetisi tersebut pihaknya dan ITB sampai melakukan roadshow ke luar negeri seperti Jepang dan Malaysia. Tak mengherankan, peserta dalam kompetisi tersebut pun banyak yang dari luar negeri. Selain dari Jepang dan Malaysia, juga ada yang dari Singapura dan Jerman.



Apa yang dilakukan di Indonesia juga dilakukan Polygon di luar negeri untuk membangun mereknya. “Memang, saat ini Polygon sedang gencar-gencarnya membangung brand di luar negeri,” ujar Ronny. Hal itu dimulai dengan membangun gerai sepeda yang modern, perusahaan distribusi dan tim pemasarannnya. Strategi pemasarannya hampir sama dengan di dalam negeri. Hanya saja, intensitasnya tidak sesering di dalam negeri mengingat biaya yang dikeluarkan di luar negeri jauh lebih mahal.



Kendati promosi dan kegiatan yang dilakukan Polygon sangat banyak dan bervariasi, diakui Ronny dan Santoso, bujet promosinya tidaklah besar. “Ya 5% dari total penjualanlah,” tutur Ronny tanpa mau menyebut angkanya. Namun, sumber SWA menyebutkan, anggaran promosi Polygon bisa mencapai hampir Rp 10 miliar, dan selalu naik setiap tahun.





Untuk meningkatkan kinerjanya, Insera Sena baru saja mengoperasikan pabrik barunya di Sidoarjo yang tak jauh dari pabrik pertama. Pabrik baru di atas lahan sekitar 10 hektare itu memiliki fasilitas tiga lantai.


Ditambahkan Ronny, dari total produknya yang dipasarkan di dalam dan luar negeri, 50%- nya atau sekitar 300 ribu unit adalah merek Polygon dengan berbagai varian produk dari harga jutaan sampai puluhan juta. “Yang paling laku yang berharga Rp 2-5 juta sekitar 60%,” katanya. Ia juga menyebutkan, di Indonesia total penjualan sepeda mencapai 6-7 juta unit per tahun. Namun, untuk kategori life-style bike baru 500-800 ribu unit per tahun. Nah, Polygon yang bermain di kategori sepeda gaya hidup menguasai segmen ini. “Di life-style bike, Polygon menguasai sekitar 60%,” ujarnya. Di Singapura dan Malaysia, Polygon juga menjadi penguasa segmen tersebut.



Agus W. Soehadi, guru besar Prasetiya Mulya Business School, menilai salah satu kekuatan strategi pemasaran Polygon adalah aktivitas pemasarannya fokus pada  constant engagement, tidak seperti umumnya perusahaan yang mengandalkan one-way communication. Artinya, Polygon secara aktif melakukan engagement dengan konsumen di mana pun mereka berada atau beraktivitas melalui pertautan asosiasi emosi antara merek dan nilai-nilai yang dipercaya oleh target konsumennya.

Sebagai contoh, Polygon bersama komunitas sepeda memperjuangkan bicycle lane agar pengguna sepeda bukan sebagai warga negara kelas empat setelah mobil, angkot dan motor. Atau, mereka bersama komunitas melobi pemerintah daerah demi memperjuangkan car free day. Semua kegiatan ini akan mempererat ikatan antara konsumen dan mereknya. “Hubungannya tidak sekadar pembeli dan penjual, tetapi brand tersebut dapat teman seperjuangannya, yakni konsumen,” Agus menegaskan.



Ia juga melihat apa yang dijalankan Polygon sudah tepat dalam mereplikasi strategi pemasarannya, baik di Indonesia maupun di luar negeri. Sebagai contoh, bekerja sama dengan salah satu bank di Singapura dan Malaysia untuk mensponsori event yang terkait dengan kegiatan bersepeda. Dan satu hal lagi. “Pada dasarnya, Polygon memiliki kemampuan memproduksi sepeda dengan kualitas baik, karena selama ini mereka juga sebagai pemasok beberapa top brand sepeda di Eropa,” ungkapnya.
Nah, tantangan bagi Polygon saat ini adalah harus memperbanyak jenis medium yang digunakan untuk engage konsumennya. Tidak hanya mengandalkan nontradisional (street marketing through fun bike, kompetisi, dll.), tetapi juga mobile application yang berisikan aplikasi yang terkait dengan minat dan gaya hidup target pasarnya atau virtual activities melalui platform “second life”.



Pihak Polygon sendiri ke depan akan lebih fokus untuk meningkatkan kualitas produknya, bukan kuantitas. “Saat ini, kami tidak bicara kuantitas, tetapi lebih ke kualitas. Jadi, kami mengejar kesempurnaan sebuah sepeda, bukan jumlahnya,” ungkap Ronny. Hal ini dilakukan karena Polygon berambisi menjadi merek internasional yang memiliki kualitas produk kelas dunia. Selain memberikan perhatian penuh pada masalah kualitas produk, dalam waktu dekat Polygon juga akan membuka kantor cabangnya di AS (California) dan negara-negara Eropa sehingga akan lebih mudah menggarap pasar di tingkat global.









Alas Kaki EDWARD FORRER Cepat Laris karena dijual Ke Ibu-ibu Arisan Bandung


Sebagai lulusan SMA,  Edward Forrer  tidak memiliki banyak pilihan pekerjaan selain menjadi buruh kasar.

dan Edward Forrer mungkin terdengar seperti nama orang asing, namun pada kenyataannya ini adalah nama seorang buruh di Bandung pada tahun 1980-an. Edward Forrer – biasa dipanggil Edo – adalah seorang pemuda miskin. Masa-masa kecilnya diliputi kepedihan.

Sering kali ia menyaksikan bagaimana ibunya harus membujuk adik-adiknya meminum air yang banyak untuk mengganjal perut. Edo menjadi tulang punggung keluarga di usia muda ketika ayah dan ibunya bercerai.

Ia bekerja di bagian gudang sebuah pabrik sepatu di Bandung, Jawa Barat. Pada tahun 1980-an, Edo mendapat pencerahan untuk mengubah nasibnya. Suatu hari ia membaca sebuah artikel mengenai pengembangan talenta di koran. Artikel itu dibacanya berulang-ulang dan memaksanya berkontemplasi mencari hal peluang bisnis yang mungkin menjadi bakatnya.
Butuh waktu cukup lama hingga ia teringat bahwa semenjak sekolah dasar dia sangat senang menggambar. Dia pintar menggambar apa saja. Itu satu-satunya bakat yang dimiliki, meskipun telah lama ia lupakan.

Dengan cepat, Edo menghidupkan bakatnya itu dengan objek yang sudah tidak asing lagi: Sepatu. Edo mengamati model-model sepatu di gudang tempat ia bekerja tampak begitu membosankan dan kuno. Ia pun mendesain sepatunya sendiri dengan membuat modifikasi tumpukan sepatu yang sehari-hari dilihatnya, dengan tambahan imajinasi dan kreasi. Namun sayang, bos tempatnya bekerja menolak untuk memproduksi desain itu.

Penolakan itu tidak membuat Edo jera, dia tetap rajin membuat desain-desain baru meskipun ia tahu desain tersebut hanya akan berakhir di laci meja.

Pada tahun 1989, Edo mengambil keputusan berani untuk meninggalkan perusahaannya setelah melihat tidak adanya peluang untuk mengubah nasib dari bagian gudang menjadi peluang bisnis desainer. Kepada bosnya, Edo mengaku akan membangun usaha yang sama tetapi bersumpah tidak akan menjadi pesaing.

Dengan bermodalkan sepeda kumbang tua, ia menawarkan peluang bisnis produknya dengan cara yang gila; ketika itu ia belum memproduksi satu pun desainnya sehingga ia menawarkan sepatunya hanya dengan gambar yang ia buat. Sial bagi Edo, ide penjualan yang unik ini ditolak mentah-mentah, tak ada yang mau membeli sepatunya. 

Banyak orang yang ditawarinya langsung menolak mentah-mentah terlebih karena ia meminta uang muka terlebih dahulu sebelum sepatunya dibuat, ibu-ibu ketakutan dan menganggapnya penipu.

Untuk menutupi biaya hidup, Edo membuka les private. Tak disangka orang tua murid di tempat Edo mengajar menjadi pelanggan pertama peluang bisnis Edo. Mungkin karena belas kasihan, orang tua itu memesan sepasang sepatu dan bersedia membayar uang muka untuk membeli bahan kulit. Edo girangnya bukan main saat mengerjakan pola, menjahit, menempel sol, hingga akhirnya mengantarkan sepatu untuk si ibu. 

Sepatu itu dibuat dengan susah payah karena meskipun pandai mendesain, dia tidak begitu pintar menge-sol sepatu. Karena itu ia terlebih dahulu belajar membuat sepatu dengan mesin jahit pertama. Produk peluang bisnis pertamanya itu memang dipasarkan dengan cara yang tidak lazim, tetapi hasilnya bagus dan kokoh sehingga si Ibu merasa senang.

Ibu tersebut kemudian memamerkan sepatu buatan Edo ke ibu-ibu lainnya, dari arisan ke arisan, sepatu customized buatan Edo yang kokoh dan tidak pasaran menjadi terkenal dan penjualan meningkat, dari yang tadinya lima order dalam seminggu menjadi lima pesanan dalam sehari. Edo pun merintis peluang kerja dengan mengumpulkan uang dan dengan Rp.200.000 ia merekut dua orang karyawan dan membeli sebuah mesin jahit

Seiring dengan membengkaknya penjualan, Edo tidak lagi menawarkan produknya dengan sepeda kumbang, tetapi membangun showroom kecil-kecilan berukuran 2 x 2 meter di ruang tamu rumahnya. Perkembangan selanjutnya, ia mampu menyewa sebuah toko di Jalan Saad, Bandung, namun karena ternyata tidak laku, ia memindahkan tokonya ke tempat yang lebih besar di Jalan Veteran No. 44 bandung, yang kini menjadi kantor pusat Edward Forrer.

Konsumen Edo yang tadinya ibu-ibu kelas menengah ke bawah pun berangsur angsur berubah menjadi konsumen menengah ke atas. Gerai distribution outlet atau distro mulai dibanjiri orang-orang dari Jakarta. 

Selain desain sepatu yang modis, orang-orang di luar Bandung itu tampaknya juga sangat nyaman dengan merek sepatu yang dilabeli dengan nama lengkap Edo: Edward Forrer. Mereka yang tidak tahu mungkin menyangka itu adalah sepatu impor mahal dari Italia.

Padahal sepatu-sepatu itu dibuat di Bandung. Menghadapi pesanan bertubi-tubi, Edo kewalahan dan memutuskan untuk tidak memproduksi sepatunya sendiri. Ia hanya menyediakan desainnya dan menjualnya dengan merek miliknya. Edo juga memantapkan tim kreatif desain dan menjadikannya sebagai bagian paling penting dalam bisnis ini. Ia menargetkan desainernya mampu menelurkan 2 model sandal dan sepatu baru setiap 10 hari. 

Edo sang pemimpi kini telah memiliki gerai penjualan di luar negeri untuk mewujudkan mimpinya sebagai pembuat sepatu terbaik di dunia. Ia memiliki satu gerai ada di Malaysia dan Hawaii serta dua di Australia yang dijadikan sebagai kantor pusat urusan luar negeri. “Saya ini pemimpi dan visioner. Selalu punya mimpi dan berusaha untuk mewujudkan mimpi itu,” kata Edo.







SILVER QUEEN adalah Satu contoh kecerdikan Inovasi dalam Bisnis Pabrik CERES


Sebenarnya tidak ada yang istimewa dari bahan racikan Chuang atau cara Chuang membuat cokelatnya,kecuali memainkan tempratur pada alat-alat pemanas cokelat. Ia membuat cokelat seperti kebanyakan pabrik ketika itu; berbahan dasar kakao, gula, dan susu. Namun cokelat itu terkenal lezat, bahkan konon saking lezatnya, Presiden Soekarno hanya mau memakan cokelat buatan Chuang. Konon, yang menjadi senjata rahasia Chuang dalam membuat cokelat adalah indra perasanya yang peka sehingga ia dapat mengetahui apakah cokelat produknya sudah dibuat dengan tepat atau belum. 

Chuang juga termasuk orang yang cerdik. Kecerdikannya terlihat saat ia menciptakan peluang inovasi bisnis cokelat batangan pertamanya pada tahun 1950-an, Silver Queen. Gagasan menjual cokelat dalam bentuk batangan sebetulnya merupakan hal mustahil ketika itu seab belum ada teknologi untuk membuatnya tidak meleleh ketika dipajang di toko karena iklim tropis Indonesia yang panas. Chuang tidak kekurangan akal, dia mencampur adonan cokelatnya dengan kacang mede yang membuat cokelat batangan seperti beton bertulang yang kuat dan pada akhirnya justru membuat Silver Queen unik. Tahun-tahun selanjutnya diisi Chuang dengan mengembangkan teknologi di pabriknya, ia berusaha mencari tahu cara-cara moderen membuat sebuah adonan cokelat yang sempurna. 

Chuang memiliki cara yang unik dalam menciptakan varian-varian cokelat-cokelat baru. Dia tidak memanfaatkan liburan ke luar negeri hanya untuk berleha-leha, tetapi juga menyempatkan waktu berburu makanan-makanan berbahan cokelat di mana pun dia berada. Cokelat-cokelat itu diborong sebagai oleh-oleh, sebagian kemudian diserahkan pada bagian riset perusahaan untuk dibedah komposisinya. Dia melancong ke Amsterdam, Belanda, belajar ke pabrik cokelat Cj Van Houten yang sudah memproses kakao menjadi cokelat sejak 1828. Dia juga merayu manajemen Van Houten agar memberinya hak untuk menjual merek itu. Lobi ini sukses dan hasilnya bukan saja Ceres mendapatkan hak memasarkan Van Houten, melainkan juga ilmu dan teknologi mengenai pengolahan kakao menjadi cokelat lezat.

Ilmu-ilmu itulah yang kemudian dipakai untuk memperbaiki rasa Silver Queen, dan membuatnya semakin populer dari hari kehari. Selain Silver Queen Chuang juga mengembangkan peluang bisnis berbagai merek lain seperti Ritz, Delfi, Chunky, wafer Briko, Top, dan biskuit Selamat. Tidak banyak yang diketahui tentang Chuang karena sifatnya yang tertutup, namun Chuang dikenal sangat akrab dengan para karawannya. Di tak segan-segan turun langsung ke pabrik dan berbincang di sana. Sikapnya ini lah yang membuat ia sangat dicintai oleh anak buahnya.

Sepeninggal Chuang, perusahaan dilanjutkan oleh ketiga anaknya John, Joseph, dan William Chuang. Ketiganya dikenal memiliki talenta yang sama dengan ayahnya dalam urusan cokelat. Joseph, sebelum dipanggil pulang keIndonesia, merupakan seorang pebisnis cokelat di Filipina. Ia mengembangkan jalur distribusi Ceres sampai ke pelosok tanah air, melengkapi armadanya dengan 500 truk berpendingin yang tersebar dari Banda Aceh sampai Jayapura. Ia juga mengakuisisi merek Hudson dan membeli merek Delfi dari Swiss pada tahun 2001. 

John yang sebelumnya memiliki karir sebagai Vice Chairman Bank of California dan Presiden Wardley Development Inc., California membantu Ceres menguasai peluang bisnis hulu kakao di level dunia–sekarang 70% pendapatan mereka berasal dari pengelolaan kakao. Cokelat memang sepertinya mengalir dalam darah mereka, ketika diwawancarai sebagai salah satu keluarga terkaya di Singapura, John berkata “Ketika bangun pagi, dalam benak saya hanya ada kakao; siang dan malam hari, cuma memikirkan kakao dan cokelat.” Distribusi, konsistensi membangun merek, dan upaya untuk fokus pada bisnis cokelat memang menjadi pilar sukses keluarga Chuang. Akan tetapi, nilai kekeluargaan yang dibangun dalam keluarga ini tak pelak juga menjadi pilar suksesnya.

Di keluarga Chuang, pemutusan hubungan kerja diharamkan terjadi. Salah satu filosofi M.C. Chuang adalah jangan pernah mengeluarkan karyawan kecuali karena dua hal :mati dan mencuri. Jangan heran bila menjumpai karyawan yang puluhan tahun, sampai 40 tahun, bekerja di perusahaan ini. Atau yang seperti Udja, dipekerjakan kembali setelah pensiun. Kerja keras, loyalitas, kejujuran dan kekeluargaan menjadi values.

Dan nilai-nilai ini ditanamkan sejak M.C. Chuang merintis usaha dan memindahkan operasional Ceres dari Garut ke Bandung di 1950-an.










Setelah Pembatalan Pesanan Sepihak, Penjualan OLYMPIC makin Laris


Pada suatu Hari di tahun 1980. Au Bintoro, pendiri Olympic Furniture  merasa bahwa toko furniture terlalu membebani konsumennya dengan ongkos kirim yang begitu besar. Mahalnya ongkos kirim itu disebabkan karena beratnya produk furniture sehingga untuk mengangkatnya dibutuhkan beberapa orang pekerja, selain itu pengusaha furniture tidak dapat membawa banyak barang sekaligus—satu truk kecil hanya bisa mengangkut beberapa meja belajar saja—sehingga tidak efesien. Bayangkan bila meja-meja tersebut harus diantarkan ke alamat pelanggan yang berada di pelosok-pelosok daerah, bukan tidak mungkin ongkos kirimnya lebih mahal dari harga meja itu sendiri.


Au yang ketika itu masih berprofesi sebagai pembuat box speaker memutar keras otaknya agar bisa menemukan peluang bisnis meja belajar yang lebih praktis, ringan, dan bisa diangkut dalam jumlah yang lebih banyak dalam satu truk. Au memiliki ide untuk membuat sebuah meja yang dapat dibongkar pasang. Dengan ide ini ia berharap pengangkutan meja jadi lebih mudah dan murah. Namun ia menemukan masalah, penggunaan kayu yang berat bobotnya menyebabkan timbul kesulitan membuat pasak-pasak yang cukup kuat untuk merekatkan bagian-bagian meja.

Ia kemudian mencoba-coba membuat meja dari bahan baku box speaker yang dimilikinya, dan ternyata sukses memanfaatkan peluang bisnis itu. Ia mampu menciptakan meja yang lebih kecil, ringan, dan mudah dibongar pasang. Meja belajar baru itu tersusun dari serpihan-serpihan papan partikel dengan perekat sekrup yang bisa di cucuk-cabut. Setiap bagian diberi tanda khusus untuk mencocokkannya dengan bagian lain. Ini mirip dengan mainan bongkar pasang anak-anak.

Produk ini selain mudah dibawa ternyata juga memberikan keuntungan lain bagi penjualnya, yaitu memperkecil biaya penggudangan (storage cost) karena penjual hanya perlu merakit satu produk saja sebagai display, sementara produk yang digudang dibiarkan dalam keadaan terbongkar sehingga tidak memakan banyak ruang.

Walau begitu Au belum memiliki cukup nyali untuk menjual peluang bisnis ini secara massal, dan lebih memilih untuk menjualnya berdasarkan pesanan. Suatu hari seorang konsumen memesan meja itu dalam jumlah ribuan. Au girangnya bukan main. Setelah harga disepakati, pengerjaan meja itu dilakukan 24 jam nonstop agar selesai tepat waktu.

Namun malang di tengah jalan order itu diputus secara sepihak. Akibatnya Au terpaksa menumpuk produk dan bahan baku yang tersisa di gudang. Setelah menunggu tanpa kepastian, Au nekad menjual meja pesanana itu ke toko-toko furniture. Ternyata meja-meja itu laku keras dan habis terjual. Ini membuat Au semakin percaya peluang bisnis ini dan bahwa konsumen telah lama menantikan sebuah meja belajar yang lebih praktis seperti buatannya.Pada tahun 1983, Au benar-benar menekuni bidang furniture dan meninggalkan profesinya sebagai pembuat box speaker. Setahun sebelumnya dia meresmikan sebuah pabrik Cahaya Sakti Multi Intraco yang khusus memproduksi meja (menyusul kemudian tempat tidur, meja serbaguna, lemari hias, lemari pakaian, rak televisi, meja kantor, dan hampir semua jenis furniture.

Au menamai merek produknya “Olympic Furniture” karena terinspirasi dengan Olimpiade XXIII yang berlangsung di Los Angeles pada 1984. Au mengutip ajang olahraga tersebut sebagai label dengan harapan Olympic dapat bergaung sehebat olimpiade yang terkenal di seluruh penjuru dunia. Inspirasi ini dikemudian hari menguntungkan Au karena konsumen lokal mengenalinya sebagai produk impor meskipun sebenarnya serpihan-serpihan perabot itu semuanya dibuat di Bogor dengan tenaga kerja lokal.

Pada tahun 1997, seperti kebanyakan pengusaha lain, Au mengalami goncangan dahsyat akibat Krisis Moneter yang melanda Indonesia ketika itu. Ongkos pembelian bahan baku membengkak gila-gilaan dan karyawan menginginkan kenaikan gaji, sementara rata-rata 5 dari 10 konsumen membatalkan membelian. Bisnis Au mengalami masa-masa paling suram dan hampir semua rencana besar terbengkalai begitu saja. Gara-gara krisis pula Au terpaksa menjual separuh lahan beserta gedung di daerah Sentul Jawa Barat yang awalnya direncanakan sebagai pusat produksi terpadu, mulai dari pengolahan kayu hingga finishing.

Au mendapatkan ide lain untuk mengatasi masalah peluang bisnis ini. Bila sebelumnya ia hanya mengandalkan toko-toko furniture untuk menjual produknya, kini ia bekerja sama dengan peritel besar seperti Carrefour dan Giant. Ia juga bekerjasama dengan gerai kredit Columbia agar konsumen lebih mudah mendapatkan dana untuk membeli produknya. Strategi ini berhasil mengembalikan penjualan Olympic ke tingkat semula, bahkan lebih.

Memasuki tahun 2003 ia menggandeng perusahan furniture asal Jerman, Garant Mobel International dan bersama-sama mendirikan Garant Mobel Indonesia (GMI) dengan 75% saham dimiliki Olympic. GMI bertindak sebagai pemberi hak waralaba yang menghubungkan pemasok dan para peritel mebel merek Garant asal Jerman, dan merek kelas atas milik Olympic. Usaha ini menciptakan merek baru MER yang diwaralabakan dengan biaya minimal Rp.500 juta beserta show room seluas 100 meter persegi. Kerja sama ini menjadikan Au sebagai peritel furniture pertama di Indonesia.

Au juga mulai mengibarkan merek-merek baru untuk menguasai pasar, misalnya Solid Furniture, Albatros, Procella, Olympia, dan furniture berharga murah Jaliteng. Diversifikasi produk itu dibuat berdasarkan daya beli target market-nya. Albartos misalnya mencoba menampilkan desain klasik dan minimalis yang disesuaikan dengan tren perkembangan desain rumah masyarakat kelas atas yang berselera ala Eropa dan Asia modern.