Sabtu, 27 April 2013

ROMANTIC COTTON, WiraUsaha katun menyulap 3 juta jadi Ratusan Juta


Dengan bakat marketing-nya, Monica pernah mencoba menjadi broker rumah dan tanah. Diakui, komisi yang ia peroleh cukup besar, tetapi suaminya, Subiakto, keberatan. Maklum, jam kerjanya tak teratur. Ia kerap harus memenuhi janji bertemu dengan calon pembeli di malam hari. “Klien saya kebanyakan memang bapak-bapak,” ujarnya.

Di saat sibuk menjadi broker itulah, tiba-tiba putri sulungnya, Amanda (14), meminta Monica untuk membuatkan bisnis untuknya. Amanda, meski baru duduk di bangku SMP saat itu, sudah bertekad jika dewasa nanti tak ingin kerja ‘ikut orang’. “Mungkin ia tidak nyaman melihat bapak-ibunya kerja pergi pagi,  pulang malam,” jelas Monica.   

Monica tertantang untuk memenuhi permintaan lugu anaknya itu. Bukan hanya karena rasa sayang, tetapi juga karena sejak kelas 3 SD, Amanda memang sudah hobi berjualan pernak-pernik. Stiker, aksesori rambut, dan peralatan sekolah dibeli Amanda secara grosir, lalu dijual ke teman-temannya. “Tetapi, ia lebih lihai dari saya. Kalau sudah tidak ada yang mau membeli, ia bisa, lho, merayu teman-temannya untuk tetap membeli dengan alasan untuk dihadiahkan ke adik atau teman satu kelas yang ditaksir.” 

Inspirasi Laura Ashley
Dalam memulai usaha baru itu, Monica tak mau jor-joran mengeluarkan uang. Monica khawatir, Amanda nantinya malah bosan dengan bisnis tersebut, dan akhirnya ditinggalkan. Monica sengaja meminjam uang dari kakak dan asisten rumah tangganya. Jumlah totalnya Rp 3 juta. “Pinjam uang dari Si Mbak adalah tantangan buat saya. Saya ingin membuktikan, saya bisa berhasil. Janji saya, uang kembali dalam seminggu,” tekadnya. 

Untuk mengembangkan uang tersebut, Monica memakai cara lama: ia membeli barang-barang fashion dari rekannya yang baru kembali dari Bangkok, lalu dijual lagi ke teman-teman di lingkungan tempat tinggal. Tak disangka, Rp 3 juta itu ‘berubah’ menjadi Rp 6 juta dalam sekejap. Monica menepati janjinya mengembalikan uang itu. 

Setelah meraih Rp 3 juta, Monica berpikir, meski pemula, bisnis ini harus dijalankan dengan serius. Ia butuh tambahan modal. Modal sebesar Rp 9,5 juta akhirnya didapat dari sebuah bank asing. “Selama 3 tahun, pinjaman itu harus dicicil sebesar Rp 425.000 per bulan. Tanggung jawab untuk membayar cicilan, saya serahkan kepada Amanda. Artinya, baik saya maupun ia, tak boleh main-main dalam bisnis ini.” 

Pilihan bisnis akhirnya jatuh pada busana wanita dari bahan katun. Ia memanfaatkan kain katun produk lokal yang melimpah, dipadu katun impor dari Jepang, Korea, dan India. Mengapa katun? Menurut Monica, kain ini cocok dipakai di Indonesia yang berhawa tropis. Harganya cukup terjangkau untuk kalangan menengah ke atas, yakni Rp 175.000-700.000. 

Kalau umumnya orang hanya memakai baju dengan satu jenis motif, baik itu bunga, polkadot, atau garis, Monica bereksperimen dengan memadu-padankan berbagai motif tersebut. Termasuk, tabrak warna dalam satu helai pakaian. “Saya teringat baju Amanda sewaktu masih balita. Mereknya Oilily, produk Belanda. Bajunya manis dengan motif bunga ‘tabrak lari’. Bahkan, 4 motif dengan warna-warna berani dipadu jadi satu. Tapi, kok, tetap lucu.”

Warna-warna jreng ini kemudian diubah oleh Monica menjadi lebih kalem. Inspirasinya datang dari Laura Ashley, pendiri sekaligus merek fashion dan interior ternama asal Inggris yang mengawali bisnisnya dari kain perca. Menurut Monica, warna-warna lembut seperti dusty pink, mint green, mustard yellow belum terlalu banyak dipakai di Indonesia. “Setahu saya, desainer Indonesia yang senang memakai warna itu hanya Biyan dan Ronald V. Gaghana.” 

Tantangan baru pun menghadang. Warna-warna yang diinginkan ada, tetapi jumlahnya tak banyak. Untunglah, motif ‘tabrak lari’ yang diusung Monica memang tak membutuhkan terlalu banyak kain. Dari modal Rp 12 juta, Monica berhasil membuat lebih dari 50 pasang pakaian, yang dikerjakan oleh penjahit terampil. Merek Romantic Cotton pun lahir pada  Juli 2008


Lama bergelut di dunia fashion, Monica tahu benar pentingnya branding. Dengan modal terbatas, ia mencetak katalog dan paperbag bertuliskan Romantic Cotton. Koleksinya itu pertama kali digelar di bazar yang diadakan di sekolah Amanda. 

 “Macam-macam komentar mereka. Ada yang bilang, ‘Ini kan baju tidur,’ ada yang bilang, ‘Kok, mahal? Kainnya kan murah?’. Tapi banyak juga yang suka,” cerita Monica. Toh, jualannya laris. Bazar kedua yang ia ikuti berlangsung di lingkungan tempat tinggalnya sendiri. Koleksinya habis terjual. Pesanan pun mengalir lewat promosi dari mulut ke mulut. 

Kesuksesan dari hasil jualan kecil-kecilan ini membuat Monica dan Amanda makin pede. Seluruh uang hasil penjualan digunakan untuk membuat koleksi baru. Rumah yang tadinya rapi di kawasan Kemang Pratama pun berantakan karena kain-kain itu disebar Monica di ruang tamunya untuk menemukan padu padan yang pas. 

Kali ini Monica bertekad menembus event yang lebih besar, yaitu pameran Inacraft di Jakarta Convention Center (JCC), April 2009. Tak disangka, pengunjung memadati stan mungilnya. “Stannya sampai hampir roboh,” kata Monica, yang waktu itu dibantu Amanda dan 2 orang asisten. Tak hanya mendatangkan omzet Rp 150 juta, di acara itu koleksinya juga meraih penghargaan sebagai produk pilihan editor femina. 

Backpack Salah Warna
Namun, jalan menuju sukses tak selalu mulus. Monica pernah menimbun puluhan backpack akibat penjahit salah memberi warna pada ritsleting dan talinya. “Bajunya warna kalem, tapi dikasih ritsleting warna hitam. Akhirnya saya kirim semua ke panti asuhan,” jelas Monica, yang rutin memberikan pakaian koleksinya ke panti asuhan. 

Monica mengakui, kerja samanya dengan penjahit didasarkan pada kepercayaan. Maklum, penjahitnya tersebar di Jakarta, Solo, Yogyakarta, hingga Bali. Untuk membuat sehelai pakaian, ia hanya mengirimkan gambar desain dan ukuran. “Yang bisa saya awasi langsung adalah penjahit di Jakarta.” 

Masalah datang lagi ketika suatu hari Monica menerima tumpukan perca di rumahnya. Perca itu kiriman penjahitnya dari luar kota. Jumlahnya banyak, tapi dengan ukuran yang kecil, sekitar 10x20 cm, bahkan 3x2 cm. “Mau dibuang, sayang, kainnya cantik. Akhirnya saya keliling lagi cari orang yang bisa bikin aksesori, seperti kalung, cincin, bando, jepit, bros, dompet, tas, hingga taplak meja dari kain perca.” Ternyata, peminatnya banyak sekali. Pembeli yang batal membeli baju karena tak ada ukuran, beralih membeli aksesori.

Setelah meraih sukses dalam waktu singkat, apa lagi yang ia cita-citakan? Sepulang dari ibadah haji beberapa bulan lalu, Monica terpikir untuk membuat koleksi busana dan perlengkapan muslim. “Tetapi, perlahan-lahan saja, saya tak mau gegabah. Seperti cara saya mengembangkan Romantic Cotton. Dari bikin 4 potong per desain, meningkat jadi satu lusin, kemudian dua lusin, dan seterusnya.” Tahun ini pula ia berniat membangun butik, agar koleksinya lebih dikenal dan menjangkau masyarakat luas.













LENI MANGIRI, Jutawati Pengusaha Batik dengan Modal 500ribu


 Leni Mangiri (33), perempuan asal Semarang ini juga memutuskan untuk terjun ke dalam usaha batik sejak sekira delapan tahun yang lalu. Tapi bedanya, bahan baku produk batiknya itu bukanlah berasal dari kain batik jadi nan utuh, melainkan dari limbah batik atau biasa dikenal perca batik.

Selain karena harganya pun lebih murah. Ketertarikannya untuk mengolah dan mengreasikan limbah-limbah batik itu lah yang mendorongnya memutuskan untuk bergelut di bisnis kain perca batik ini.

"Awalnya, karena ketertarikan saya terhadap limbah batik yang terbuang. Kok sayang saja rasanya padahal ini bisa dikreasikan lagi dan menghasilkan uang juga. Lalu saya buat lah perca itu menjadi tas, selimut, sarung bantal, bedcover, dan lain-lain," tutur perempuan lulusan sarjana hukum Universitas Diponegoro ini, kepada okezone, belum lama ini.

Tak hanya itu, risiko penjualan yang lebih rendah pun semakin meningkatkan optimismenya untuk menggeluti usaha perca ini. Meski target pasar yang menjadi sasarannya adalah masyarakat golong ekonomi menengah rendah, dia pun mengaku tidak masalah. Karena justru segmen pasar itu lah menurutnya lebih sesuai dengan jenis produk jualannya dan lebih banyak peminatnya.

"Kalau kain perca itu kan harganya lebih murah, tidak semahal kain batik jadi, sehingga risiko penjualannya pun lebih sedikit. Apalagi produk perca ini kan target pasar dan peminatnya memang banyak datang dari masyarakat kelas menengah rendah, jadi tidak masalah," ungkapnya.

Mula usahanya, ceritanya, dia hanya bermodalkan satu mesin jahit dan empat karyawan, serta uang Rp500 ribu. Dari modal tersebut, menurutnya dia bisa memproduksi 50-100 buah (pieces) produk dengan perolehan laba dua kali lipatnya. Namun untuk mencetak laba tersebut, dia mengakui itu tidak lah mudah. Butuh proses yang cukup lama sekira setengah tahun lamanya untuk mencapai laba tersebut.

"Labanya memang dua kali lipat modalnya, tapi prosesnya lama, sekira setengah tahun. Ini karena masih belum ada yang mengenal produk kami," ujarnya.

Namun kendala di awal tersebut tidak membuatnya patah semangat. Dia pun terus mempromosikannya melalui rekan-rekannya, dari mulut ke mulut.

Bahkan dia pun punya inisiatif untuk mendaftarkan produknya ke Dinas Perindustrian dan Perdagangan Semarang. Dari sejumlah informasi Dinas Perindag inilah menurutnya usahanya itu kian berkembang. 

"Awalnya saya ikut diajak berpartisipasi pada bazar yang diselenggarakan Dinas Perindag. Biaya stand pun pada awalnya saya masih dibiayai Dinas Perindag. Dari situ lah produk saya mulai dikenal. Lalu, saya makin banyak dapat informasi tentang bazar-bazar, lalu saya pun ikut, tapi sudah dengan biaya sendiri," bebernya.

Kerja kerasnya itu kini bisa dikatakan telah membuahkan hasil. Sekarang, usaha kelolaannya itu telah memiliki 20 orang karyawan dengan omzet per tahun mencapai Rp120 juta. Produk yang dihasilkannya pun saat ini sudah terdiri dari 50 jenis (item) dengan jumlah berbeda-beda, bisa mencapai ratusan buah, tiap item-nya.

"Omzet dalam setahun bisa mencapai Rp120 juta. Penghasilan terbesar biasanya diperoleh pada masa sebelum lebaran, karena produksi kami genjot dan lebihkan dua kali lipat, sehingga omsetnya bisa dua kali lipat dibanding bulan biasa. Tapi setelah lebaran anjlok lagi karena tidak ada pesanan. Dua bulan setelah lebaran baru normal lagi," paparnya.

Meski sudah meraup omzet ratusan juta, dia mengaku kini usahanya itu justru makin memiliki tantangan besar. Pasalnya, menurutnya kini makin banyak pengusaha kain perca, sehingga harga jual pun makin kompetitif dan keuntungan pun makin berkurang.

"Makin sekarang makin banyak pengusaha kain perca, apalagi harga kain perca di pabrik-pabrik juga makin mahal, sehingga kami pun harus berebutan memperolehnya. Tapi saya juga tidak bisa sembarang menaikkan harga produk karena pembeli suka protes, paling keuntungan yang coba ditekan, dari yang biasanya mencapai laba 40-45 persen, sekarang hanya 20-35 persen," curhatnya.

Untuk itu, lanjutnya, dia pun harus terus berupaya mengembangkan inovasi baru tiap produknya dan kualitas produk tetap dijaga, bahkan ditingkatkan.

"Ya, tetap optimis saja lah, tetap lakukan pekerjaan sebaik mungkin. Tapi harus tetap memberi tahu konsumen bahwa kualitas produk kita berbeda, meskipun harga lebih tinggi dibanding produk lain," pungkasnya














VILLA KEK PISANG, Merubah 2 juta menjadi 10 Milliar


Peluang Wirausaha modal kecil bisa dirintis dari bermacam bidang, diantaranya kue oleh oleh. Berdiri pada 2007, Selvi Nurlia berhasil mengembangkan oleh-oleh khas Batam dengan merek ‘Villa Kek Pisang’. Sempat merintis penjualan kerupuk udang, klepon ataupun rumah makan padang, ‘jodoh’ Selvi tampaknya berlabuh ke bolu pisang tersebut.

Usaha bolu dari perempuan berusia 30 tahun lulusan Teknik Elektro, Universitas Andalas, Sumatera Barat dan suaminya itu, diawali dengan membuat kue bolu pisang yang dibungkus plastik dan diedarkan ke berbagai warung dengan harga Rp 1.000.

Suaminya berujar bahwa kue pisang istrinya bisa dijadikan bisnis. “Kek pisang kayaknya bagus kalau tidak dibuat kecil-kecil. Apalagi, kue dalam ukuran kecil cenderung sia-sia jika tidak berhasil dijual.” Akhirnya, mereka memutuskan menjual kue pisang dalam ukuran besar, seperti brownies.

Dengan modal Rp 2 juta yang kebanyakan dibelikan bahan baku seperti gula dan tepung terigu per sak, pasangan suami istri ini ini serius menggarap bisnis barunya. Nama Villa dipakai sebagai merek dagang oleh Selvi karena dia dan suami tinggal di perumahan Villa Muka Kuning.”Nama ini cepat dihapal dan tidak susah diucapkan oleh masyarkat. Jadi orang nyebutnya plong.”katanya.

Selvi juga membuat perubahan bentuk produk, dari bulat menjadi kotak dengan alasan menambah nilai jual. Selvi berkiblat kepada Brownies Amanda. Sebelum diedarkan ke pasaran, Selvi juga memutuskan untuk menjual produk dengan rasa lebih dari satu
“Kami saat itu berpikir enaknya diberikan rasa apa ya? Karena di rumah saat itu ada selai strawberry kami coba dan ternyata rasanya lucu. Salah satu keuntungan pisang adalah cocok dengan selai apa saja,”katanya. Setelah mulai percaya diri dengan produk dan variannya, Selvi membuat logo dan kemasan agar menarik untuk dijual.

Akhirnya, Villa Kek pisang ini resmi berdiri 20 Februari 2007 di sebuah rumah tipe 36. Awalnya mereka mengajak tetangga untuk membantu menjualkan produknya di kantor dengan bonus imbalan sebesar Rp 3000 per kue. Selvi menjual kue tersebut dengan harga Rp 12 ribu untuk original dan Rp 15 ribu untuk variannya. Produksi ini dibantu dengan satu orang ibu tetangga dan 2 pasutri saudara mereka.

 Momentum kebangkitan kue tersebut terjadi saat Selvi kedatangan pembeli yang memesan sebanyak 8 kotak untuk dibawa ke Medan sebagai oleh-oleh pada November 2007. Dari situ, Selvi berpikir untuk memposisikan kue buatannya sebagai ‘bolu khas Batam’. Selvi segera mengubah positioning produk dengan mengubah harganya menjadi Rp 35ribu dan mengganti taglinenya dari So Cozy So Delicous menjadi “Batam, Ya Kek Pisang Villa”. “Kami mengubah harga dan pembeli malah tidak lari karena ada kebutuhan di sini yaitu oleh-oleh. Jadi pasar kita berubah tapi malah makin banyak,”katanya.

Usahanya kian berkembang. Namun, positioning itu ternyata juga mendapatkan banyak tentangan dari orang asli Batam. “Saya sudah tinggal sampai 20 tahun ini di sini, tetapi kamu seenaknya saja menyebut sebagai oleh-oleh. Siapa kamu yang baru tinggal di sini,”katanya menirukan orang-orang sekitar. Namun, Selvi menambahkan, “Kami cuma menghadapi itu semua dengan senyuman.”

Rumah produksi dipusatkan di Batam Center, yang kini sudah mempunyai 2 outlet yang berdampingan dan Nagoya yang tempatnya yang lebih luas dan dijadikan tempat produksi. Di Kini sebagai sarana delivery Selvi sudah mempunyai 3 unit mobil dan 4 armada motor.Seiring berkembangnya bisnis kue tersebut, kualitas tetap harus dijaga. Untuk itu, Selvi menerapkan pemisahan manajemen pemegang bahan, pemegang oven, pemegang pengadukan, pemegang timbangan dan lainnya. Sedangkan pemegang resep diberikan kepada orang yang dipercaya. “Hal ini dilakukan agar kualitas kue terus sama.” 

saat ini Dengan omzet Rp10 miliar per tahun, impian membuka cabang di 40 kota pada 2015 pun rasanya tidak terlalu muluk.











Jumat, 26 April 2013

BONEKA GIGI, Boneka Lucu yang Makin Laris


 Bulan Agustus  2010, Anggi melakukan penyuluhan untuk anak-anak di beberapa kecamatan di Medan. Seperti layaknya mahasiswa kedokteran gigi lainnya, Anggi Hayani Harahap (22) mengikuti kegiatan penyuluhan gigi sebagai bakti untuk masyarakat.
Saat itu, ia merasa, penyuluhan yang dilakukannya tak mendapat perhatian dari anak-anak. Tak patah semangat, ia mencari cara agar penyuluhannya berhasil. Ia mendapat ide untuk menciptakan boneka gigi yang lucu untuk mencuri perhatian anak-anak.

“Boneka ini berbentuk gigi geraham yang diberi mata dan mulut yang bisa terbuka. Bila mulut boneka dibuka, maka akan terlihat gigi-gigi di dalam boneka. Saya jadi mudah memberikan informasi kesehatan gigi kepada anak-anak.” ungkap wanita kelahiran 23 Juni 1990 ini. 

Tak disangka, boneka gigi yang awalnya hanya sebagai alat peraga kesehatan (phantom) ini ternyata sangat disukai anak-anak. Dari situ, muncullah ide untuk menjual boneka gigi ciptaannya. Tak hanya untuk penyuluh kesehatan,  boneka tersebut  juga bisa dibeli oleh semua kalangan. 

Menggunakan bendera usaha Kenkou Dolls & Souvenir, Anggi kemudian memberi nama bonekanya Dens in Dente, artinya gigi di dalam gigi. Ia menciptakan karakter Mister Dente untuk gigi sehat dan Kenkou Boy untuk karakter boneka gigi berlubang. 
Anggi mematok harga bervariasi untuk tiap bonekanya, tergantung ukuran dan bahan. Harganya antara Rp 150.000 hingga Rp 250.000. Untuk memperluas bisnisnya, ia juga menciptakan suvenir, gantungan kunci, mug, stiker, dan kaus bergambar gigi.  “Saya menjual produk secara online. Menurut saya sangat efektif dan menghemat biaya,” ujarnya.  

Selain kuliah dan berbisnis, Anggi aktif dalam organisasi kewirausahaan di kampusnya. Tahun 2011, Anggi direkomendasi oleh dosennya untuk mengikuti kompetisi Wirausaha Muda Mandiri (WMM). Berkat produknya yang inovatif, Anggi berhasil meraih juara Terinovatif dan Teredukatif WMM tingkat nasional. Anggi mendapat gelar teredukatif lantaran produknya digunakan di sekolah-sekolah, puskesmas, dokter gigi, dan instansi kesehatan lainnya.  

“Setelah menang, saya dilibatkan dalam berbagai pameran. Cara ini, selain meningkatkan penjualan, juga membuat produk saya makin dikenal masyarakat luas,” jelas wanita yang berharap produknya bisa menjadi ikon PDGI (Persatuan Dokter Gigi Indonesia) ini.  

Dalam berbisnis, Anggi tak lupa terus melakukan inovasi, seperti meluncurkan produk baru berupa boneka gigi berwarna-warni. “Ide justru datang dari pelanggan. Awalnya saya sama sekali tidak setuju, mana ada gigi berwarna?” jelas mahasiswi semester 8 Universitas Sumatra Utara ini. 

Namun, karena derasnya permintaan pasar, akhirnya ia pun mengeluarkan boneka gigi berwarna biru, hijau, ungu, dan fuchsia. Sebagai pengusaha, ia belajar untuk mendengarkan apa keinginan pasar, asalkan masih sesuai dengan inti bisnis yang dijalankannya.     

Saat ini, bisnis Anggi terus berkembang. Jika di awal usaha omzetnya hanya Rp5 juta, kini, setelah lebih dari setahun menjalankan bisnisnya, ia mampu menghasilkan omzet lebih dari Rp30 juta per bulan. “Jika dulu maksimal 20 boneka per bulan, saat ini saya mampu menjual 60 - 80 boneka tiap bulan,” ungkapnya, sambil tersenyum. 














Rabu, 24 April 2013

Bisnis Baju Online BESAR ini BerOmset Ratusan Juta


Memulai sebuah bisnis akan lebih mudah dilakukan jika Anda jeli melihat peluang yang ada. Selanjutnya, Anda harus berani mengembangkan peluang tersebut. Termasuk, jika Anda harus banting setir dari pekerjaan atau bisnis yang sedang dijalani saat ini. Inilah yang dilakukan pebisnis pakaian extra large berikut ini. Langkanya pakaian berukuran ekstra besar di Indonesia, menjadi peluang usaha. Moto mereka: semua wanita layak tampil modis.

Awal Usaha
Awalnya Suryani Widodo (34) kesulitan mendapatkan busana ukuran Suryani saat itu, XL, yang cocok dengan kepribadian Suryani yang old school. Suryani lalu membayangkan, kalau ukurannya lebih besar lagi, pasti kesulitannya menjadi berkali lipat dari yang Suryani alami. Dari situ Suryani mendapat ide. Pada Oktober 2008, dengan modal keyakinan bahwa banyak wanita yang mencari baju ukuran ekstra besar, Suryani pun memberanikan diri beralih dari bisnis produksi kartu ucapan dan kertas kado yang sudah Suryani jalani beberapa tahun belakangan, ke bisnis baju berukuran besar.

Kekuatan Online Marketing
Sebagai tempat jualan, Suryani memilih toko online. Alasannya, selain tak perlu mengeluarkan modal untuk tempat, Suryani juga bisa berjualan kapan saja. Mau sambil mengurus anak, sedang pakai daster, atau mau jualan pagi buta pun bisa. Selain itu, dengan menerapkan sistem online, Suryani bisa menjangkau pasar yang lebih besar dari segi wilayah. Di sisi lain, hal ini juga menjadi tantangan tersendiri. Banyaknya toko online palsu akan membuat orang berpikir dua kali saat berbelanja di online shop Suryani. Untuk meredam kekhawatiran pembeli, Suryani sengaja memberikan banyak nomor yang bisa dihubungi untuk pemesanan barang. Saat ini, pelanggan toko online Suryani bisa memesan lewat SMS, BBM, YM, e-mail, hingga whatsapp.

Produk Lengkap
Untuk dapat berkembang, Suryani harus bisa membaca keinginan pasar. Awalnya, Suryani hanya menyediakan ukuran XL dan XXL yang didapat dari konveksi langganan. Karena peluangnya makin besar, konveksi ikut menyediakan hingga ukuran 5L. Selain itu, Suryani dibantu suami juga memproduksi sendiri beberapa item dengan ukuran lebih besar. Kini, toko kami menjual baju hingga ukuran 8L dan celana hingga ukuran 12L. Selain pakaian wanita, Suryani juga melihat pasar pakaian pria, dan memproduksi pakaian pria berukuran hingga 50 untuk celana dan 8XL untuk bajunya. Tidak hanya pakaian, Suryani juga bekerja sama dengan perajin sepatu dan menyediakan sepatu wanita ukuran 42-45 serta sepatu pria ukuran 44-46. Barang-barang tersebut dihargai Rp50.000 – Rp300.000.

Melawan Kompetitor
Pesaing memang banyak. Namun, Suryani berusaha menyediakan barang berkualitas baik, dengan harga yang tetap masuk akal. Suryani tak mau menjual barang murah, tapi baru beberapa kali pakai sudah rusak. Untuk bahan, Suryani memilih yang senyaman mungkin dikenakan oleh orang bertubuh besar. Kini, Suryani sudah memiliki lebih dari 3.000 pelanggan yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia, Singapura, dan Australia.

Modal & Omzet
Modal awalnya hanya Rp1 juta untuk membeli barang. Memang tidak banyak, karena untuk tiap satu model, Suryani hanya membeli satu item dengan aneka ukuran. Tujuannya, untuk membaca minat pasar. Sedangkan omzetnya, Suryani mendapatkan Rp100 juta - Rp200 juta per tahun.

Tip Sukses
1. Fokus pada apa yang Anda sukai dan sedang kerjakan. Tetap optimistis, meski digempur banyak persaingan bisnis dari segala segi. Kalau Anda yakin, semua rintangan bisa diatasi.
2. Sigap melihat kebutuhan market dan jangan gegabah mengikuti tren. Karena, tren tidak akan bertahan lama dan tak semua orang cocok dengan tren yang ada.















Minggu, 21 April 2013

Wanita ini Sukses WiraUsaha 'mBengkel'


Di sebuah seminar kewirausahaan bagi para purna tugas yang bekerja di perusahaan multinasional yang diselenggarakan Lembaga Pengembangan Administrasi, Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya, Malang, Hj Rubiyah Sardjono bertanya kepada peserta yang mengikuti workshop kewirausahaan ini. “Orang seperti saya ini cocoknya bisnis apa,” ? ujarnya memancing pertanyaan. Banyak peserta yang mengatakan bahwa Hj Rubiyah Sardjono yang penampilannya seperti itu cocok bisnis katering. Ada juga yang nyeletuk bisnis salon penganten. 

Mendengar jawaban seperti itu, Hj Rubiyah tersenyum masgul. Ia memang membenarkan semua jawaban yang diberikan para peserta tersebut. “Ya saya memang pernah berbisnis salon penganten, bisnis katering, dan jenis bisnis lainnya yang sering dilakukan oleh ibu rumah tangga, termasuk bisnis membuat kue kering,” ujarnya.

Suami Pindah Kerja, Bisnis Mulai Nol Lagi  
    
Semua bisnis yang dijalani ibu dari empat orang anak ini semuanya berkembang dengan baik. Namun ketika suaminya harus pindah kerja sesuai tugas kantor, maka ia harus rela melepaskan bisnis yang sudah dirintisnya dengan susah payah ini. “Di Jakarta, saya pernah membuka usaha katering. Usaha maju, hasilnya bisa untuk membeli rumah dan keperluan lainnya. Namun usaha ini harus dilepas ke orang lain karena suami pindah kerja ke Surabaya,” ujarnya.

Dengan situasi seperti itu, Hj Rubiyah berfikir, mungkinkah ada bisnis yang bisa dikelola secara tidak langsung, artinya bisnisnya berjalan tanpa ia harus ada di sana tetapi menghasilkan. Karena terbiasa aktif berbisnis, Hj Rubiyah mencoba mengusulkan ide bisnis dengan membuka bengkel  untuk kendaraan bermotor. Ide ini berawal dari pengamatannya bahwa pemilik bengkel kendaraan bermotor tidak harus berada setiap saat di lokasi usaha, dan rata-rata, sepengetahuannya,  hasilnya cukup menjanjikan. 

Ia, kemudian berdiskusi dengan suaminya, H Sardjono, yang menjadi karyawan disebuah perusahaan swasta, dan berlatar belakang sebagai seorang teknisi mesin. H Sardjono, suaminya, mencoba mengaktualisasikan ide yang ada di benak istrinya, dengan menggambar secara detail bentuk usaha bengkel kendaraan bermotor yang akan dijalankannya secara profesional. Usaha barunya ini dicoba dan dibuka tahun 1993 di Surabaya.   Di luar dugaan, ternyata bengkelnya ramai luar biasa.    

Fase Baru Bengkel Profesional

Setelah cukup lama bengkelnya dikenal banyak pelanggan, dan selalu ramai, ia mencoba mengajukan izin kepada Astra Honda Motor untuk membuka Bengkel AHASS. Seperti diketahui Astra Honda Motor dengan jaringan Bengkel AHASSnya memiliki segmen pasar yang luas yang telah dikenal sangat professional.  

Ternyata prosesnya tidak semudah yang dibayangkan orang. Penuh lika-liku, membutuhkan banyak waktu dan kesabaran.  Baru pada tahun 1999, izin yang diajukan Hj Rubiyah untuk membuka Bengkel AHASS dikabulkan oleh tim Astra Honda Motor. Izin sudah ditangan, tetapi ada masalah lain yang masih mengganjal. Ia diberikan izin dilokasi yang kurang strategis, alias msih sepi. Masalah lainnya, soal modal yang diperlukan untuk membuka Bengkel AHASS membutuhkan modal yang tidak sedikit. 

“Saya harus menjual hampir semua asset yang saya miliki. Mulai dari rumah, mobil, hingga semua perhiasan yang saya miliki, baik yang sedang saya pakai maupun yang  dipakai anak-anak,”ungkapnya. Perjuangan meyakinkan manajemen Astra Honda Motor bahwa Bengkel AHASS yang didirikannya akan ramai dan benar-benar beda, memang dibuktikannya. Bengkel AHASS itu ramai. Bahkan telah berkembang dari satu menjadi dua, kemudian bertambah lagi menjadi tiga Bengkel AHASS yang didirikannya. Hebatnya  lagi, semua Bengkel AHASS miliknya merupakan Bengkel AHASS terbaik se Indonesia Wilayah Timur, bahkan jadi rujukan untuk standarisasi Bengkel AHASS di wilayah tersebut. Dari sinilah Hj Rubiyah menemukan passionnya bahwa ia memang cocok berbisnis bengkel kendaraan bermotor.   

Ide Bisnis yang Terus Berkembang 

Melihat pengelolaan Bengkel AHASS miliknya yang sudah berjalan dengan baik, dengan manajemen professional, ia mencoba mengembangkan ide bisnis lain untuk melengkapi bisnis bengkel kendaraan bermotor dengan bisnis salon dan cuci motor. Ide ini dibawa kepada seseorang, pemilik bisnis usaha franchise salon dan cuci motor yang cukup terkenal di Indonesia 

“Ternyata ide saya dibajak oleh perusahaan tersebut, termasuk uang saya sebesar Rp100juta yang raib dengan system bisnis yang tidak karuan rimbanya. Saya sudah mengikhlaskan, tetapi saya bertekad menjalankan ide bisnis ini dengan sekuat tenaga ,” ujarnya. 

Berawal dari kepentok  itulah, Hj Rubiyah memiliki tekad lebih kuat untuk mengoalkan ide-idenya dengan membuat usaha bengkel yang diinegrasikan dengan  salon dan cuci motor. Ia memberi nama usahanya dengan brand MOTOR X-TRA. Hak cipta merek, dan izin patennya juga sudah keluar pada bulan November tahun 2007 lalu. Yang khas dari Bengkel MOTOR X-TRA adalah terintegrasinya  layanan bengkel, cuci motor, salon serta berbagai keperluan bagi kendaraan motor lainnya. Ia bahkan menyebutnya sebagai bengkel yang one stop sevice untuk otomotif roda dua. Saat ini, setahun setelah Bengkel MOTOR X-TRA diluncurkan, sudah ada 6 cabang MOTOR X-TRA,  diantaranya di Sidoarjo, Surabaya, Malang, Yogyakarta dan Gresik. 

Berbagi Sukses 

Kesuksesan yang telah dinikmati Hj Rubiyah Sardjono, dalam mengelola Bengkel MOTOR X-Tra memberikan keyakinan bahwa bisnis yang dijalankan telah berjalan di rel yang benar. 



Apakah bisnis ini memiliki prospek yang bagus? Sepanjang yang telah dilakukan Hj Rubiyah dengan membuka 6 cabang Bengkel MOTOR X-TRA, serta pengalaman mengelola 3 Bengkel AHASS selama 15 tahun, ia yakin mampu membawa mitranya menuai hasil usaha seperti yang diharapkan, dengan meningkatkan pendapatan yang berasal dari cuci mobil, jasa bengkel dan salon, serta penjualan suku cadang kendaraan bermotor. Menurut Hj Tubiyah, pada prinsipnya sebuah usaha akan berhasil jika dalam menjalaninya memegang tiga prinsip usaha, yaitu jujur, tekun serta fokus.















Sabtu, 20 April 2013

Kisah Sukses Bisnis TAS Sejak Mahasisiwi - GEMBOOL -

Kisah Sukses Bisnis Wirausaha TAS Sejak Mahasisiwi - GEMBOOL - 
Peluang WiraUsaha di bidang Fashion masih sangat menjanjikan, kesuksesan Vidia Chairunnisa (25) merupakan salah satu contoh. Ketika masih berkuliah di Fakultas Teknologi Kelautan, Institut Pertanian Bogor, Vidia melihat peluang yang besar untuk berbisnis. Vidia melihat adanya kebutuhan teman-teman untuk tampil modis dengan modal bersahabat. Alhasil, tahun 2009 Vidia memberanikan diri berdagang tas-tas murah yang Vidia ambil dari Bandung. Tak disangka, ternyata laku keras! Vidia pun mulai coba-coba ikut pameran untuk meraup pasar yang lebih luas.

Karena terbatasnya desain tas yang Vidia beli jadi, setahun kemudian Vidia pun mulai membuat tas sendiri dengan label Tas Lutjuw. Vidia memodifikasi desain yang sudah ada dari majalah dan internet, lalu Vidia minta dibuatkan oleh perajin tas di Bogor. Vidiangnya, sistem jasa pembuatan barang ke pihak lain yang disebut makloon ini lemah dalam hal quality control pengerjaan. Vidia juga tidak bisa menetapkan material atau aksesori yang digunakan. Produk Vidia pun tak maksimal karena Vidia dipaksa membeli material berkualitas rendah yang telah mereka sediakan dengan finishing seadanya.

Tidak puas dengan hasilnya, akhirnya tahun lalu Vidia nekat membuat workshop sendiri dan mulai meluncurkan produk dengan label Gembool. Vidia pun mempekerjakan 50 wanita perajin di kampung Cihampea, Bogor, untuk membuat tas-tas yang kemudian Vidia beri label Gembool (baca: gembul). Ide nama ini datang dari konsep tasnya yang fun, warna-warni, dan terasa dekat dengan remaja. Kata gembul juga identik dengan banyak uang dan makmur. Harapannya, sih, rezeki bisa lancar.

Vidia sengaja membidik pasar remaja wanita karena lebih menguntungkan. Namanya juga anak ABG, biasanya centil, konsumtif, dan sering gonta-ganti tas yang dipadu-padankan dengan busananya.


Dalam riset pasar yang Vidia lakukan, remaja mencari produk yang trendi, tapi harganya murah, sesuai dengan daya beli mereka. Jadi, pemilihan bahan pun Vidia sesuaikan untuk menekan biaya produksi dan harga jual. Meskipun menggunakan material yang biasa,  Vidia meningkatkan kualitas produk lewat finishing yang rapi. Ini yang menjadi kekuatan Gembool. Produk Gembool yang handmade terjaga betul kerapian jahitan dan lemnya. Kami juga memberikan layanan garansi hingga setahun untuk reparasi gratis bila terjadi kerusakan.


Agar bisa kompetitif di pasar, Vidia berusaha terus update perkembangan tren. Misalnya saja, tren yang berkembang saat ini adalah model-model tas ala Korea, maka produksi tas Vidia banyak memodifikasi model-model ala Korea yang banyak bermain di warna-warna pastel, tabrak warna, dan animal printing.

Pasar remaja itu sensitif terhadap desain yang up to date, bervariasi, dan harga ketimbang kualitas material. Karena itu, Vidia harus bisa menyediakan barang-barang trendi yang murah meriah. Karena remaja suka warna-warna ngejreng, Vidia pun menyediakan banyak pilihan warna. Untuk  tiap desain tas tersedia 8-10 pilihan warna, sedangkan untuk dompet maksimal diproduksi 15 warna yang berbeda. Tiap dua bulan sekali Vidia mengeluarkan 2-3 model baru
Memaksimalkan Jaringan Reseller
Dalam seminggu, Vidia bisa memproduksi 10 lusin tas dan 25 lusin dompet (termasuk sarung ponsel dan organizer). Harga dompet antara Rp45.000-Rp115.000, sedangkan tas Rp125.000-Rp179.000.

Untuk pemasaran, Vidia bekerja sama dengan banyak toko online besar, seperti lazada, zalora, blibli. Selain itu, Vidia memiliki sekitar 50 reseller yang tersebar di Pulau Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, hingga ke negeri jiran.

Kebanyakan resellers ini menjual kembali produk Vidia lewat media sosial dan toko online mereka dengan sistem drop shipping. Tidak ada syarat minimum order bagi reseller untuk mendapat potongan harga sebesar 15% per unit. Ada juga reseller yang rutin membeli minimum Rp5 juta sekali order. Biasanya, mereka akan menjual produk Vidia di toko offline mereka. Untuk membantu penjualan para reseller, Vidia menyediakan katalog produk. Dengan perpanjangan tangan seperti ini, Vidia berhasil meraup omzet rata-rata Rp200 juta - Rp250 juta per bulan.

Setelah berhasil dengan lini remaja, Vidia mulai terpikir mengembangkan Vidiap dengan menyasar wanita dewasa di bawah label Bagtitude,  sejak November lalu. Pilihan warnanya lebih konservatif, yaitu cokelat, hitam atau ivory dengan penggunaan material yang lebih baik. Harga jualnya pun lebih tinggi, yaitu minimal Rp350.000.