Jumat, 24 Agustus 2012

Berkat Internet, MR TACOZ Menemukan Resep yang Disukai


Peluang Usaha juga bisa Berawal dari hobi Melihat lihat resep masakan di internet, Dian Purwaningtyas berhasil meramu makanan khas Meksiko. Ia lalu menawarkan makanan Meksiko itu ke pasar. Mendapat respons positif, omzet Dian kini ratusan juta per bulan.

Membangun usaha bermodalkan hobi dan keyakinan tidaklah mudah. Namun, tidak demikian dengan Dian Purwaningtyas (31), pemilik Peluang usaha makanan khas Meksiko dengan brand Mr Tacoz.

Usaha yang berbasis di Malang, Jawa Timur, ini mampu mendulang omzet hingga ratusan juta per bulan. Kemampuannya meramu makanan Meksiko ini diperoleh dari kegemarannya berburu resep masakan dari seluruh dunia. "Saya berburu resep-resep makanan melalui media internet," kata Dian.

Selama ini, Dian memang selalu penasaran dengan sesuatu yang terjadi di dunia luar, terutama dalam hal makanan. Rasa penasaran itu juga yang mendorongnya rajin berburu resep masakan lewat internet. 

Di internet, ia kemudian menemukan resep masakan khas Meksiko yang dianggapnya cocok dengan selera masyarakat Indonesia. "Ciri khasnya agak pedas-pedas, cocok dengan lidah masyarakat Indonesia," ujarnya. 

Setiap menemukan resep yang menarik, Dian selalu mencoba untuk mempraktikkannya. Begitu juga ketika menemukan resep masakan Meksiko.

Ia pun tertarik untuk belajar meramu masakan dari negara Amerika Latin itu. Dari beberapa kali mencoba, ia lalu berhasil menghidangkan masakan Meksiko yang lezat. 

Salah satunya adalah tacoz. Makanan Meksiko ini serupa kebab, yakni sayuran dan daging yang dibalut roti tortila. Bedanya, kulit tortila pada tacoz ada yang krispi. Perpaduan bumbu khas dengan dominasi citarasa nan pedas dan gurih sesuai dengan lidah orang Indonesia. 

Lantaran sesuai dengan lidah orang Indonesia, ia yakin peminat tacoz di Indonesia lumayan banyak. Dari situ ide bisnisnya kemudian muncul. 

Pada Desember 2007, ia kemudian memberanikan diri untuk mendirikan gerai pertama sebagai peluang usaha di Malang. Untuk brand usaha ia memakai nama Mr. Tacoz. 

Ia merintis usaha ini hanya dengan modal awal Rp 1,5 juta. Modal yang tak seberapa itu antara lain dipakai untuk membeli gerobak bekas. 

Supaya tampak menarik, gerobak bekas itu kemudian dicat kembali. "Lalu saya beri gambar kartun lengkap dengan kumisnya dan tulisan Mr Tacoz," jelasnya. 

Selain tacoz, peluang usaha milik dia juga menyediakan menu lain, seperti nacoz, mexico fries alias kentang berbumbu meksiko, dan tacoz burger. Makanan-makanan itu dibanderol mulai Rp 7.500 sampai Rp 15.000 per porsi. 

Di masa awal merintis usaha, Dian rajin mengikuti bazar dan pameran di kampus dan sekolah-sekolah. Berkat usahanya itu, Mr Tacoz mendapat sambutan pasar yang cukup antusias. "Setiap hari, dalam waktu tiga jam sudah ludes terjual," jelas Dian. 

Melihat respons pasar yang positif, pada tahun 2009 ia resmi menawarkan kemitraan. Hingga saat ini, Dian sudah memiliki 40 gerai di sejumlah kota besar di Indonesia, seperti Bandung. 

Selain konsep booth, gerai-gerai itu juga ada yang mengusung konsep mini kafe. Dari usahanya ini, Dian meraup omzet lebih dari Rp 100 juta per bulan. 


Sejak kecil, Dian tak pernah punya keinginan menjadi pengusaha. Selepas kuliah, ia sempat menjadi pengajar di lembaga pendidikan anak usia dini (PAUD). Namun, kariernya tidak lama. Lantaran hobi berburu resep makanan di internet, ia lalu memutuskan terjun ke bisnis kuliner.

Dian Purwaningtyas mengaku tak pernah menyangka bakal terjun ke bisnis kuliner. Apalagi, dia lulusan dari jurusan Biologi di Universitas Brawijaya, Malang. 

Selepas kuliah, Dian juga sempat bekerja di sebuah lembaga pendidikan anak usia dini (PAUD) dengan jabatan kepala sekolah dan dewan pembuat kurikulum. 

Namun, kariernya di dunia pendidikan tidak bertahan lama. Dian hanya betah mengajar beberapa bulan saja di sana dan akhirnya memilih keluar. "Saya merasa tidak satu visi dengan pemilik sekolah dalam prinsip pendidikan anak-anak," jelas wanita kelahiran 1980 ini. 

Setelah keluar dari dunia pendidikan, Dian memilih tidak melamar pekerjaan ke tempat lain. Ia justru melanjutkan hobi lamanya saat masih kuliah dulu, yakni menjelajah dunia internet dan mencari hal-hal baru di sana. 

Sebagai penyuka kuliner, Dian pun Senang berburu resep-resep baru di internet. Nah, sebelum menemukan resep masakan khas Meksiko, ia sempat mencoba meramu makanan khas Jepang. Resep itu juga didapat dari internet. 

Oleh Dian, resep makanan Jepang itu dimodifikasi sesuai dengan selera lidah orang Indonesia. Untuk mewujudkan idenya ini, ia sempat meminta bantuan mahasiswa tata boga.

Saat itu, tidak kurang dari 39 menu masakan khas Jepang berhasil dimodifikasinya. Ia kemudian mencoba menawarkan menu makanan Jepang itu ke pasar. 

"Dan, saya kaget ketika menu-menu hasil modifikasi saya itu ternyata disukai di pasaran," jelas Dian. 

Saat itu, bisnis kuliner Jepang ini dikelolanya dengan mengusung konsep kafe. Modalnya, patungan dengan beberapa temannya.

Namun, bisnis ini tidak bertahan lama. Manajemen yang buruk membuat bisnis ini terseok-seok. Selain karena minim pengalaman, usaha ini juga terkendala modal yang minim. 

Beruntung, ada orang lain yang mau mengambil alih usaha kafe ini. Dengan terpaksa, ia pun melepaskannya. "Saya sangat kehilangan saat itu," kenang Dian. 

Namun, ia tidak mau larut dalam putus asa. Pengalaman itu justru membuatnya semakin semangat untuk terjun ke bisnis kuliner. 

Sejak itu, ia kembali sibuk berburu resep makanan di internet. Pilihannya kemudian jatuh ke makanan Meksiko. Selain sesuai selera orang Indonesia, makanan Meksiko juga masih sepi pemain. "Beda dengan masakan kontinental atau American junk food," ujarnya.

Belajar dari pengalaman sebelumnya, kali ini ia tidak mau gagal lagi. Mengusung brand Mr. Tacoz, makanan Meksiko hasil racikannya ternyata diminati pasar. Dari sisi manajemen usaha juga diperkuat. "Saya juga rajin ikut pameran," ujarnya. 


Sebagai pebisnis, naluri Dian Purwaningtyas melebarkan usahanya tak pernah padam. Ia berambisi, bisnis makanan Meksiko dengan brand Mr Tacoz bisa berkembang hingga keluar negeri. "Minimal bisa masuk Asia Tenggara, seperti Malaysia," kata Dian.

Untuk menggapai ambisinya itu, Dian sudah menyiapkan rencana. Antara lain memperkuat jalur distribusi melalui Pulau Sumatra. Demi kelancaran jalur distribusi ia akan membangun gudang tempat penampungan produk di Sumatra. Operasional gudang dan jalur distribusi ini akan dikelola oleh kantor cabang. 

Untuk di dalam negeri, saat ini Mr Tacoz sudah memiliki 40 gerai yang tersebar di sejumlah kota besar di Indonesia. Sebagian besar gerai tersebut milik mitra usaha.

Selain fokus membesarkan Mr Tacoz , Dian juga sibuk menggarap bisnis lain. Sejak empat bulan terakhir, ia merintis bisnis minuman cokelat di Mr Tacoz. Karena prospeknya lumayan menjanjikan, ia pun memilih memisahkan bisnis ini dengan Mr Tacoz. Untuk brand usaha, ia memberi nama The Soklat. 

Hingga kini, The Soklat memiliki lima gerai. Satu di antaranya milik sendiri dan sisanya milik mitra. Sejak awal dirintis, Dian memang langsung menawarkan kemitraan usaha. 

Membanderol Rp 7.000 - Rp 8.000 per gelas, ia bisa meraup omzet Rp 8 juta per bulan. Dian meramu bahan baku minuman ini dari bubuk cokelat terbaik, gula singkong rendah kalori, dan susu rendah kolesterol. 

Ke depan, Dian ingin mengembangkan usaha ini menjadi rumah cokelat. "Jadi saya tidak lagi menjual minuman cokelat saja, tapi juga berbagai bentuk produk cokelat," papar Dian. 

Bersama suaminya, Lin Budiarto juga mengelola usaha pembuatan dan desain gerai dengan brand Bakoel Outlet. Berbekal pengalamannya, Dian paham betul apa yang diinginkan pedagang saat memesan gerai. 

Ia mengklaim, gerainya banyak diminati karena harganya lebih murah. Misalnya, untuk ongkos mendesain outlet, Dian hanya membanderol Rp 250.000 per gerai.

Jika membuat gerobak plus desainnya, harganya mulai Rp 1,5 juta hingga Rp 12 juta. "Harganya bervariasi sesuai desain dan bahan baku yang digunakan," paparnya. 













Rabu, 15 Agustus 2012

Pengusaha Sukses yang berawal dari Tukang Sapu


Peluang Usaha apapun kalau dimanfaatkan semaksimal mungkin seringkali menjadikan kesuksesan, seperti yang dialami Tri Sumono kini pengusaha sukses dengan omzet ratusan juta. Ia mengawali langkahnya di dunia usaha dengan menjadi pedagang aksesori kaki lima. Ulet dan tekun membuat usahanya terus berkembang.

Pepatah lama yang menyatakan "hidup seperti roda berputar" tampaknya berlaku bagi Tri Sumono. Berawal dari menjadi kuli bangunan hingga tukang sapu, kini Tri sukses menjadi pengusaha beromzet ratusan juta rupiah per bulan.

Lewat perusahaan CV 3 Jaya, Tri Sumono mengelola banyak cabang peluang usaha, antara lain, produksi kopi jahe sachet merek Hootri, toko sembako, peternakan burung, serta pertanian padi dan jahe. Bisnis lainnya, penyediaan jasa pengadaan alat tulis kantor (ATK) ke berbagai perusahaan, serta menjadi franchise produk Ice Cream Campina. "Saya juga aktif jual beli properti," katanya.

Dari berbagai lini usahanya itu, ia bisa meraup omzet hingga Rp 500 juta per bulan. Pria kelahiran Gunung Kidul, 7 Mei 1973, ini mengaku tak pernah berpikir hidupnya bakal enak seperti sekarang.

Terlebih ketika ia mengenang masa-masa awal kedatangannya ke Jakarta. Mulai merantau ke Jakarta pada 1993, pria yang hanya lulusan sekolah menengah atas (SMA) ini sama sekali tidak memiliki keahlian.

Ia nekat mengadu nasib ke Ibu Kota dengan hanya membawa tas berisi kaus dan ijazah SMA. Untuk bertahan hidup di Jakarta, ia pun tidak memilih-milih pekerjaan.

Bahkan, pertama bekerja di Jakarta, Tri menjadi buruh bangunan di Ciledug, Jakarta Selatan. Namun, pekerjaan kasar itu tak lama dijalaninya. Tak lama menjadi kuli bangunan, Tri mendapat tawaran menjadi tukang sapu di kantor Kompas Gramedia di Palmerah, Jakarta Barat.

Tanpa pikir panjang, tawaran itu langsung diambilnya. "Pekerjaan sebagai tukang sapu lebih mudah ketimbang jadi buruh bangunan," jelasnya.

Lantaran kinerjanya memuaskan, kariernya pun naik dari tukang sapu menjadi office boy. Dari situ, kariernya kembali menanjak menjadi tenaga pemasar dan juga penanggung jawab gudang.

Pada tahun 1995, ia mencoba mencari tambahan pendapatan dengan memanfaatkan  peluang usaha berjualan aksesori di Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta. Saat itu, Tri sudah berkeluarga dengan dua orang anak. Selama empat tahun peluang usaha Tri Sumono berjualan produk-produk aksesori, seperti jepit rambut, kalung, dan gelang di Jakarta. Berbekal pengalaman dagang itu, tekadnya untuk terjun ke dunia bisnis semakin kuat. "Saya dagang aksesori seperti jepit rambut, kalung, dan gelang dengan modal Rp 100.000," jelasnya.

Setiap Sabtu-Minggu, Tri rutin menggelar lapak di Stadion Gelora Bung Karno. Dua tahun berjualan, modal dagangannya mulai terkumpul lumayan banyak.

Dari sanalah ia kemudian berpikir bahwa berdagang ternyata lebih menjanjikan ketimbang menjadi karyawan dengan gaji pas-pasan. Makanya, pada tahun 1997, ia memutuskan mundur dari pekerjaannya dan fokus untuk berjualan.

Berbekal uang hasil jualan selama dua tahun di Gelora Bung Karno, Tri berhasil membeli sebuah kios di Mal Graha Cijantung. "Setelah pindah ke Cijantung, bisnis aksesori ini meningkat tajam," ujarnya.

Tahun 1999, ada seseorang yang menawar kios beserta usahanya dengan harga mahal. Mendapat tawaran menarik, Tri kemudian menjual kiosnya itu. Dari hasil penjualan kios ditambah tabungan selama ia berdagang, ia kemudian membeli sebuah rumah di Pondok Ungu, Bekasi Utara. Di tempat baru inilah, perjalanan bisnis Tri dimulai.

Pengalaman berjualan aksesori sangat berbekas bagi Tri Sumono. Ia pun merintis usaha toko sembako dan kontrakan. Sejak itu, naluri bisnisnya semakin kuat. 

Saat itu, ia langsung membidik usaha toko sembako. Ia melihat, peluang bisnis ini lumayan menjanjikan karena, ke depan, daerah tempatnya bermukim itu bakal berkembang dan ramai. "Tapi tahun 1999, waktu saya buka toko sembako itu masih sepi," ujarnya.

Namun, Tri tak kehabisan akal. Supaya kawasan tempatnya tinggal kian ramai, ia kemudian membangun peluang usaha  sebanyak 10 rumah kontrakan dengan harga miring. Rumah kontrakan ini diperuntukkan bagi pedagang keliling, seperti penjual bakso, siomai, dan gorengan. 

Selain mendapat pemasukan baru dari usaha kontrakan, para pedagang itu juga menjadi pelanggan tetap toko sembakonya. "Cara itu ampuh dan banyak warga di luar Pondok Ungu mulai mengenal toko kami," ujarnya.

Seiring berjalannya waktu, naluri bisnisnya semakin kuat. Tahun 2006, Tri melihat peluang bisnis sari kelapa. Tertarik dengan peluang itu, ia memutuskan untuk mendalami proses pembuatan sari kelapa. Dari informasi yang didapatnya diketahui bahwa sari kelapa merupakan hasil fermentasi air kelapa oleh bakteri Acetobacter xylium.

Untuk keperluan produksi sari kelapa ini, ia membeli bakteri dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Bogor. "Tahap awal saya membuat 200 nampan sari kelapa," ujarnya.

Sari kelapa buatannya itu dipasarkan ke sejumlah perusahaan minuman. Beberapa perusahaan mau menampung sari kelapanya. Tetapi, itu tidak lama. Lantaran kualitas sari kelapa produksinya menurun, beberapa perusahaan tidak mau lagi membeli. Ia pun berhenti memproduksi dan memutuskan untuk belajar lagi.

Untuk meningkatkan kualitas sari kelapa, ia mencoba berguru ke seorang dosen Institut Pertanian Bogor (IPB). Mulanya, dosen itu enggan mengajarinya karena menilai Tri bakal kesulitan memahami bahasa ilmiah dalam pembuatan sari kelapa. "Tanpa sekolah, kamu sulit menjadi produsen sari kelapa," kata Tri menirukan ucapan dosen kala itu.

Namun, melihat keseriusan Tri, akhirnya sang dosen pun luluh dan mau memberikan les privat setiap hari Sabtu dan Minggu selama dua bulan. Setelah melalui serangkaian uji coba dengan hasil yang bagus, Tri pun melanjutkan kembali produksi sari kelapanya. 

Saat itu, ia langsung memproduksi 10.000 nampan atau senilai Rp 70 juta. Hasilnya lumayan memuaskan. Beberapa perusahaan bersedia menyerap produk sari kelapanya. Sejak itu, perjalanan bisnisnya terus berkembang dan maju.

Kamis, 02 Agustus 2012

Peluang Usaha KLOOM CLOGS, Sukses yang dari iseng


Peluang Usaha dan Kesuksesan bisa saja bermula dari keisengan dan coba-coba. Tengok saja pengalaman Nadia Mutia Rahma, pemilik Kloom Clogs. Mengandalkan desain yang modern, kelom produksinya langsung diminati pasar, khususnya pembeli di luar negeri.

Kalau cuma berwujud alas kaki kayu sederhana yang bertalikan karet, kelom mungkin hampir hilang dari peredaran. Sebagai gantinya, orang lebih suka memakai sandal jepit atau alas kaki modern lainnya.

Tapi, di tangan Nadia Mutia Rahma, sandal kayu yang di beberapa wilayah di Indonesia juga disebut teklek itu bisa berubah menjadi produk alas kaki harus unik, nyaman, dan disukai konsumen. Bahkan kelom bermerek Kloom Clogs hasil kreasi Nadia sukses menembus pasar luar negeri.

Nadia mengubah tampilan kelom yang lazimnya berdesain batik dan ukiran dengan teknik pengecatan air brush. Dus, kelom tradisional dimodifikasi menjadi sepatu dengan desain yang lebih modern. Ia memadukan kayu dan kulit gaya Eropa. Hasilnya adalah aneka desain kelom yang unik, trendi, modern, fashionable, dan elegan.


Jika kita tengok ke belakang, mungkin, tak ada yang mengira kelom produksi anak pertama dari dua bersaudara ini bakal ngetop. Pasalnya, kelom Nadia hanya buah dari iseng. Sejak kelas dua SMA atau sekitar 2006, Nadia tinggal di Tokyo, Jepang, mengikuti sang ayah yang bertugas di sana. Selulus SMA, ia masuk ke sekolah pendidikan bahasa Jepang. Tahun 2009, dia masuk sekolah fashion di Esmod Tokyo. Di tempat ini, ia menemukan banyak teman dari berbagai negara, terutama dari Skandinavia. “Di Indonesia, anak muda suka banget sepatu-sepatu merek asing. Tapi, teman saya dari Skandinavia justru mengoleksi kelom,” ujarnya.

Nadia baru tahu bahwa kelom memang menjadi salah satu bagian dari kebudayaan masyarakat Skandinavia. Dia lantas membeli sepasang kelom. “Akhir 2010, saya ke Indonesia untuk liburan karena jenuh di Jepang. Ternyata, liburannya keterusan,” katanya.

Alhasil, Nadia meninggalkan bangku sekolah di Esmod Tokyo. “Saya hanya sekolah selama enam bulan di sana,” katanya. Pulang ke Yogyakarta, ia mencari tukang sepatu yang bisa membuatkan kelom seperti miliknya. Dia menemukan perajin di kawasan Monumen Jogja Kembali (Monjali).

Awalnya Nadia hanya membuat tujuh pasang kelom. Dengan membanderol Rp 250.000 per pasang, barang hasil peluang usaha iseng itu langsung ludes dibeli tetangganya. Otak bisnisnya yang diwariskan dari sang ayah mulai berputar. Dia ingin memproduksi dalam jumlah besar. “Kebetulan, saya suka gambar, saya coba desain sendiri. Semua autodidak, sebab di Esmod saya tidak belajar desain sepatu,” kata gadis ayu ini.

Sulit mencari mitra
Nadia memutuskan ikut pendidikan di Akademi Teknologi Kulit (ATK) Yogyakarta untuk mempelajari ilmu mengenai aneka produk kulit. Maklum, kulit menjadi bahan baku peluang usaha sepatunya, selain kayu pinus, mahoni, dan sampang. “Cuma bertahan tiga bulan. Baik di Esmod maupun ATK tak sampai lulus,” katanya.

Namun, dari dua sekolah itu, Nadia bisa mendapatkan jaringan bisnis. Dari teman-temannya di Esmod, ia mendapat jaringan pembeli di luar negeri dan dari teman di ATK, ia mendapat jaringan perajin dan pemasok bahan baku.

Dengan modal awal tabungan Rp 30 juta, Peluang usaha Nadia mulai memproduksi dalam jumlah besar. “Semua saya jual secara online via Facebook dan blog,” katanya. Saat itu, ia baru memiliki lima perajin. Sang ibu membantu peluang usahanya di bagian pemasaran sedangkan Nadia lebih fokus di bagian produksi.

Kemudian, Nadia mencoba membuka gerai di Kemang, Jakarta Selatan. Dari situ, ada yang mengajaknya berpameran di JCC, Pondok Indah Mall, Gandaria City, dan Plaza Indonesia.
Untuk memperbesar kapasitas produksi peluang usaha, Nadia menjual mobil untuk tambah modal. Tapi, ia kesulitan menambah tenaga kerja. Asal tahu saja, 70% pengerjaan produk kelomnya menggunakan mesin dan sisanya mengandalkan keterampilan manusia. “Nah, mencari tenaga untuk membuat ini sangat sulit. Benar-benar harus mendapatkan orang yang terampil,” kata Nadia yang sekarang memiliki puluhan karyawan.

Pemasaran via internet jadi kunci sukses peluang usaha Nadia. Ia juga aktif ikut pameran. Tahun lalu, ia pameran di London. Tahun ini, ia bakal ikut pameran di Hong Kong dan Paris untuk meningkatkan ekspor.

Saat ini, kelom kreasi peluang usaha Nadia diminati oleh konsumen di Finlandia, Swedia, Islandia, Norwegia, dan Denmark. “Ada juga yang dikirim ke Australia dan Amerika Serikat (AS),” kata dara kelahiran Yogyakarta, 12 Juni 1989 ini. Omzetnya dari bisnis ini bisa mencapai ratusan juta setiap bulan.

Nadia menargetkan, tahun ini, peluang usaha ia bisa memproduksi 12.000 pasang kelom atau dua kali lipat produksi tahun lalu yang sekitar 6.000 pasang. Ia membanderol kelomnya mulai Rp 175.000 hingga Rp 450.000 per pasang. “Fokus kami tidak hanya di pasar ekspor, tapi juga akan lebih giat menggarap pasar dalam negeri yang belum banyak tergarap,” ujar Nadia yang belum lama ini membuka galeri di kawasan Bumi Serpong Damai.